Skip to main content

Dalam Bingkai Sejarah



(Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Forum Lingkar Pena tingkat Jawa Timur tahun 2017)
Tuhan memang benar - benar tahu bagaimana cara yang tepat untuk 'menghukum' kita. Namun jika ini memang hukuman darinya, mengapa harus sekejam ini? Mengapa Dia begitu tega membuat semua ini seolah - olah nyata terjadi?
Sosok di hadapanku itu tersenyum lembut. Ekspresinya tentu sangat kontras denganku yang balas menatapnya dengan perasaan bercampur aduk. Aku senang, tentu saja. Namun tak pelak lagi, rasa takut juga kian menyelimuti hatiku. Bagaimana jika ini semua hanya mimpi? Seperti yang sudah - sudah?
Dia berjalan mendekatiku. Kedua lengan kekarnya yang dibalut jubah panjang merentang, seakan ingin mendekapku. Sungguh, aku sangat merindukan pelukannya. Pelukan hangat yang menentramkan hatiku. Sudah lama sekali aku tidak pernah 'berpulang' ke dalam pelukannya.
Sosok itu semakin dekat. Indra penciumanku dengan jelas menangkap wangi tubuhnya. Demi Tuhan, aku ingin menghambur dan memeluknya sekarang juga. Otakku segera mengirim perintah kepada kakiku untuk bergerak mendekatinya. Namun seakan - akan membatu, kedua kakiku diam tak berkutik.
"Kayla..." melihatku yang tidak bereaksi, ia memanggil namaku dengan lembut, penuh perhatian.
Hancur sudah segala benteng pertahanan yang kubuat sedari tadi. Kristal bening yang tertahan di kedua pelupuk mataku meluruh turun membasahi kedua pipiku yang berwarna kemerahan. Aku langsung berlari menghampirinya dan memeluknya. Tuhan, semua ini nyata. Sosok yang kurindukan sejak dulu kini berdiri tegak di hadapanku.
"Ayah..." aku tergugu memanggilnya. Benar - benar takut bahwa semua ini hanyalah bunga tidur, "Kayla rindu Ayah..." lirihku.
"Ayah juga rindu Kayla, sayang..." tangannya lembut membelai rambut cokelatku yang tergerai indah hingga melewati pinggang.
"Ayah jangan pergi... tetap disini saja. Temani Kayla menghadapi semua ini. Ayah mau, kan?" isakku masih dalam pelukannya.
Ayah mengangguk pelan, "Tentu saja Ayah mau, Kayla... Tapi Ayah tidak bisa. Tempat Ayah bukan disini," penuturannya bagaikan belati tajam yang menyayat hatiku. Sungguh, sangat sakit rasanya.
"Kayla mau ikut Ayah..." isakanku bertambah kencang. Aku memeluk Ayah lebih erat, takut kehilangan dirinya lagi.
"Tempatmu bukan disini, Kayla... Kembalilah. Semua orang menunggumu. Mereka ingin kau kembali, Nak. Mereka menyayangimu," Ayah menjelaskan dengan suara tercekat.
"Tidak ada yang lebih menyayangiku selain Ayah..." lelehan kristal bening itu mulai turun lebih deras, membasahi kaus yang kupakai.
"Ayah tahu..." ucapnya sambil menepuk - nepuk bahuku pelan, "Tapi masih banyak yang menyayangimu. Mama, Nenek, Kakek, Kak Rafif, Rubent. Banyak orang yang sayang dan peduli kepadamu, Kayla. Kembalilah kepada mereka, Nak. Jangan cemaskan Ayah. Suatu hari, kita pasti akan bertemu kembali. Ayah janji."
"Ayah berjanji, kan?" aku mengacungkan jari kelingkingku.
"Iya, Kayla. Janji," Ayah mengaitkan jari kelingkingnya, "Sekarang kembalilah. Ayah akan pergi sebentar..." Ayah melepaskan pelukannya dariku. Aku menangis, meronta, memohon agar ia tidak pergi. Namun, sekuat apapun aku mencoba, ia tetap berjalan meninggalkanku, sosoknya hilang ditelan cahaya.
***
Sang Bola Panas sudah terbangun sedari tadi, rupanya. Cahayanya jatuh menimpa dedaunan di jalan, menampilkan siluet yang indah untuk dipandang. Salah satu larik cahayanya menembus kisi - kisi jendela ruangan putih ini, membuat kelopak mataku mengerjap terbuka.
"Mama! Kayla sudah sadar!" seru sebuah suara bariton. Aku mendongak lemah dan menemukan kakak pertamaku, Rafif, sedang duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang putih. Begitu melihatku membuka mata, ia langsung bangkit dari kursinya dan dengan semangat mengguncang - guncang bahu wanita yang tertidur di sofa.
Wanita yang usianya hampir menjemput setengah abad itu buru - buru menegakkan badan dan menghampiriku seraya tersenyum penuh haru. Dapat kulihat matanya yang berkaca - kaca menahan tangis. Pasti dia sangat mengkhawatirkanku.
"Kayla... kamu sudah sadar, Nak? Kamu sudah bangun..." air mata pun tumpah ruah membasahi wajah teduhnya. Tangannya meraih tanganku yang tertusuk jarum infus.
"Ini dimana? Kenapa aku ada disini?" aku menatap mereka dengan penuh tanda tanya.
"Di rumah sakit, Kayla. Kamu sudah koma selama hampir dua minggu," jawab Kak Rafif sambil membelai rambutku. Saat itu juga sebuah kenyataan pahit menamparku. Aku pasti ada disini karena penyakit ini.
Ya, sejak sebulan yang lalu dokter mengatakan bahwa jantungku tidak dapat berfungsi dengan normal. Seiring berjalannya waktu, detak jantungku semakin melambat. Untung saja aku segera menemukan pendonor jantung yang tepat. Dan sekarang disinilah aku.
"Ayah dimana...?" mataku jeli menyapu setiap jengkal ruangan yang penuh dengan peralatan medis tersebut. Selain Bunda dan Kak Rafif, disini juga ada Rubent, saudara kembarku yang terlahir 6 menit lebih cepat dariku.
Raut wajah Bunda seketika bertambah sedih begitu aku mengucapkan dua kata tersebut. Mungkin ia tak menduga bahwa anak perempuan satu - satunya ini akan mengucapkan kata - kata itu.
"Bunda..." aku berbisik lirih, "Ayah belum meninggal, kan? Ayah masih hidup?"
"Ayah sudah meninggal, Kayla..." melihat Bunda yang tercekat, Rubent berinisiatif menjawab. Sama seperti Bunda dan Kak Rafif, saudara kembarku ini juga menitikkan air mata.
"Bohong!" sambarku cepat, "Ayah belum meninggal! Tadi aku bertemu Ayah!"
"Kayla, sadarlah. Ayahmu sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu!" setelah bisa mengendalikan diri, Bunda menjawab pertanyaanku.
Kristal bening mulai meluncur turun dari kedua bola mataku. Kenyataan ini memang sangat menyakitkan. Jika aku bisa memilih, lebih baik aku hidup selamanya di alam mimpi asalkan bersama Ayah. Namun aku sadar, bahwa itu semua hanyalah dongeng yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kini sosok yang teramat kurindukan itu telah dipeluk tanah.
Andai saja operasiku tidak berhasil, mungkin sekarang aku sudah berada bersama Ayah. Bercanda dan bermain seperti yang biasa kami lakukan semasa ia hidup. Aku tahu, kemungkinan operasi jantung berhasil hanya dua persen. Dari lima puluh orang yang menjalani operasi ini, hanya satu orang yang dapat bertahan hidup.
"Kayla..." Bunda memanggilku lembut, membuatku terbangun dari pusaran pikiran yang kubuat sendiri. Aku mencoba untuk menghapus air mataku, "Ayah sudah pergi. Dia sudah tenang di alamnya." Terdapat kesungguhan yang terpancar dari kedua bola matanya. Setelah Ayah meninggal, baru kali ini Bunda membahas mengenai hal ini kepadaku.
"Kau terlalu terpaku dengan masa lalu, Nak," ujarnya dengan suara yang dibuat terdengar tegar.
"Aku... aku masih tidak bisa melupakannya..." isakku. Air mata yang tadinya sudah berhenti keluar, akhirnya tumpah kembali.
"Kita memang tidak perlu melupakannya. Yang kita perlukan hanyalah menerimanya dengan hati lapang, itu saja sudah cukup," Bunda tersenyum menatapku, "Ayah pasti tidak akan suka melihatmu yang seperti ini."
Aku masih diam. Tergugu atas semua petuah dan kata - kata bijak yang keluar dari mulut Bunda. Batinku menolak semua kebenaran yang tersirat di dalam rangkaian kata demi kata tersebut.
"Kau hanya perlu 'berdamai' dengan masa lalumu, Kayla. Sekali kau menerimanya, bayangan masa lalu itu tidak akan terus - menerus menghantuimu. Percayalah, Kayla," Bunda meremas tanganku lembut.
"Ayah tentu ingin kau melanjutkan hidup. Bersyukurlah, Tuhan masih memberimu kesempatan untuk tetap menghirup nafas di dunia ini. Tuhan telah berbaik hati memberimu kesempatan kedua."
Tak pelak lagi, isakkanku yang semula pelan berubah menjadi tangisan. Semua yang dikatakan Bunda benar adanya. Akulah yang selama ini terlalu egois, merasa bahwa hanya aku yang kehilangan Ayah. Aku benar - benar tidak menyadari, bahwa Bunda juga menyimpan duka yang teramat dalam.
Jika saja kondisiku memungkinkan, aku pasti akan menghambur ke dalam pelukannya. Namun apa daya, tubuhku terlampau lemah untuk bergerak. Yang bisa kulakukan hanyalah meremas tangan Bunda, menyampaikan kepadanya permintaan maafku.
"Berjanjilah, Kayla... Kau akan menerima semuanya. Semua kenanganmu yang telah tertinggal. Kau akan melanjutkan kehidupanmu dengan jantung baru, Kayla," Bunda mengusap kepalaku pelan.
"Bunda... Maafkan Kayla yang selama ini tidak pernah menghiraukan Bunda. Kayla benar - benar minta maaf..." aku menatap kedua manik matanya sungguh - sungguh.
"Bunda selalu memaafkan Kayla, sayang. Selalu," ujarnya seraya mengecup puncak kepalaku.
***
Hampir sepuluh tahun berlalu sejak operasiku berlangsung. Berkat jantung baru ini aku bisa beraktivitas layaknya manusia normal lainnya. Berita baiknya, sekarang aku sudah bekerja sebagai seorang psikolog. Ya, aku bukanlah Kayla yang pendiam. Aku adalah Rosella Mikayla Andrea yang baru. Gadis berusia dua puluh enam tahun yang ceria dan periang.
Aku membanting kemudi mobilku ke arah kanan, menyusuri jalanan padat kota Bandung. Masih seratus meter lagi sebelum mobilku berhenti di sebuah taman pemakaman. Aku melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil sembari mendekap sebuah buket bunga Lily.
Kaki jenjangku melangkah dengan yakin melewati jalan setapak makam. Tanganku bergerak membenahi helaian rambut yang keluar dari kerudung hitamku. Begitu mataku menangkap objek yang sedari tadi kucari, langkahku berhenti.
Segera kucium batu nisan yang bertuliskan nama Ayah. Dan seperti biasanya, aku mulai 'berbicara' dengannya. Tentang hariku, tentang Bunda, tentang apa saja. Bagiku, ini adalah bentuk komunikasi antara aku dan Ayah.
Nasihat Bunda memang benar. Kita tidak perlu melupakan masa lalu. Yang harus kita lakukan hanyalah menerima dengan hati yang lapang. Dengan begitu, kita bisa melangkah menuju masa depan tanpa dibayangi oleh kenangan menyakitkan tersebut. Sesederhana itu.
Terima kasih, Ayah. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Walaupun hanya empat belas tahun, aku sangat menghargai setiap detik yang kita lalui bersama. Segala kenangan dan kebersamaan kita akan selalu kusimpan dalam hatiku. Kau adalah kenangan terbaik yang pernah kumiliki dalam bingkai sejarah hidupku.

Comments

Promo Menarik Hari Ini

Popular posts from this blog

Resensi Novel Matahari

  Judul novel: Matahari Penulis: Tere Liye Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2016 Cover: Orkha Creative ISBN 978-602-03-3211-6 Tebal: 400 halaman Sinopsis: Novel ini menceritakan tentang perjalanan tiga orang remaja, yaitu Raib, Seli, dan Ali di Klan Bintang. Mereka berasal dari klan yang berbeda. Raib yang berasal dari Klan Bulan dapat menghilang. Seli yang berasal dari Klan Matahari mampu mengeluarkan petir dari tangannya. Sedangkan Ali yang berasal dari Klan Bumi adalah anak yang jenius dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu itulah, ia mencoba mencari tahu tentang Klan Bintang yang keberadaannya tidak diketahui seorangpun. Dari hasil pencariannya, ia hanya menemukan informasi bahwa salah satu cara untuk pergi kesana adalah dengan menggunakan buku kehidupan milik Raib. Ali pun mengajak Raib dan Seli untuk pergi ke Klan Bintang. Namun, ide itu ditolak mentah mentah oleh mereka karena Raib telah berjanji untuk tidak men...

Resensi Novel Autumn in Paris

  Rangkuman Buku Nonfiksi : Autumn in Paris AUTUMN IN PARIS oleh Ilana Tan GM 401 07.028 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29 - 37, Jakarta 10270 Desain dan ilustrasi cover oleh yustisea.satyalim@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Juli 2007 Cetakan kesembilan belas : Maret 2012 Cetakan keduapuluh : Mei 2012 Cetakan keduapuluh satu : November 2012 Cetakan keduapuluh dua : Februari 2013 Cetakan keduapuluh tiga : Agustus 2013 Cetakan keduapuluh empat : November 2013 272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 3030 - 7 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta ----------------------------------------------------------- Isi di luar tanggung jawab Percetakan Bab 1: Ruangan penyiar tersebut sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Namun, Tara Dupont masih duduk bersandar di kursi dengan ekspresi sebal. Tara me...

Psychopath [Chapter Seven]

Awan kelabu berarak satu sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan bela sungkawa darinya. Suasana yang muram menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum. Memang, pada awalnya kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak merasa 'sendirian'. "Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara. Kinara tetap menunduk, menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya untuk selama-...