Awan kelabu berarak satu
sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk
beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan
menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan
bela sungkawa darinya.
Suasana yang muram
menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan
segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan
keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum.
Memang, pada awalnya
kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun,
akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak
merasa 'sendirian'.
"Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara.
Kinara tetap menunduk,
menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali
ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak
pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya
untuk selama-lamanya. Apalagi dengan cara setragis ini.
"Iya, thanks, El," jawab Kinara.
"Lo harus kuat, Kinara.
Ini cuma salah satu ujian dalam hidup. Kalau lo bisa melewati ini, itu
membuktikan kalau lo orang yang kuat. Jangan sedih lagi, ya," hibur
Rafael.
Kinara menggeleng,
"Nggak bisa, El. Gue nggak bisa ngelupain dia. Setiap kali gue berniat
buat ngelupain ini semua, kenangan gue sama Disty seakan diputar ulang
di kepala gue! Gue nggak bisa!"
"Tenang, Kinara. Tenang..." ujar Rafael, "Disty nggak bakal tenang di alam sana kalau lo nggak ikhlas dengan kepergiannya."
"Gue ngerti..." isaknya.
Namun nyatanya, masih
ada orang yang lebih terpukul dibandingkan Kinara. Calya, orang yang
paling dekat dengan Disty pun mengalami hal serupa. Bahkan, gadis itu
sempat tidak sadarkan diri ketika mendengar kabar kematian Disty. Kini,
gadis malang itu tengah berada di rumahnya, menolak untuk melihat proses
pemakaman sahabatnya.
Angela juga menolak
untuk hadir. Ia benar-benar tidak bisa melihat proses pemakaman
sahabatnya sendiri. Melihat peti matinya saja ia sudah merinding,
apalagi melihat proses pemakamannya.
Hanya Luna, Kinara, dan
Clara yang hadir disini. Hanya mereka yang terlihat tegar, walaupun di
dalam hati mereka merasa begitu hancur. Rafael, Kanaya, dan Zafran juga
menampakkan batang hidungnya disana.
Empat pria dewasa mulai
menggali tanah menggunakan cangkul, lantas menurunkan peti mati Disty
pelan-pelan. Setelah memastikan segalanya sudah selesai, mereka menutup
kembali makam tersebut.
Sebuah nisan putih yang
tertulis nama Disty lengkap dengan tanggal lahir dan meninggalnya
ditancapkan di atasnya. Kedua orang tuanya menyiramkan air dari botol,
dilanjutkan dengan beberapa orang yang menaburkan bebungaan.
Masih beberapa menit
lagi sebelum proses pemakaman itu selesai. Orang-orang yang datang
melayat mulai berjalan pergi meninggalkan pemakaman, setelah mengucapkan
bela sungkawa kepada pihak keluarga Disty.
Begitu pula dengan
Rafael dan Zafran. Kedua lelaki itu pun memutuskan untuk pergi bersamaan
dengan para pelayat. Tugas mereka sudah selesai, tidak ada gunanya
tetap berada disini. Lagi pula, sepertinya langit sudah siap untuk
menumpahkan hujan.
Hanya kedua orang tua
Disty, ketiga sahabatnya dan Kanaya yang masih ada disana. Mereka masih
enggan untuk beranjak pergi. Oke ralat, semua orang kecuali Kanaya. Ia
hanya menemani saudara kembarnya disana.
"Kinara, ayo pulang!" Kanaya ikut berjongkok di sebelah Kinara, membujuknya untuk pulang.
"Gue masih mau disini," tolaknya dengan suara semut.
Kanaya enggan untuk
menyerah. Ia menepuk pundak Kinara pelan, "Ayo. Kita pulang sekarang.
Sekarang mendung, Kinara. Sebentar lagi pasti hujan. Lo bisa sakit
nanti. Nggak apa-apa, gue janji gue bakal temenin lo kesini besok. Kapan
aja lo mau, gue pasti temenin lo. Asal sekarang kita pulang."
Kinara menatap batu
nisan itu sayu, sebelum menyambut tangan Kanaya dan ikut pulang
bersamanya, "Lo berdua bawa mobil sendiri-sendiri, kan?" tanya Kanaya
kepada Clara dan Luna.
Mereka berdua mengangguk, "Iya. Kita pulang sendiri-sendiri, kok."
"Oke kalau gitu. Gue sama Kinara balik dulu ya," pamit Kanaya.
***
"Lo jangan sedih terus,
Kinara. Lo harus bangkit dari rasa kehilangan lo. Lo bakal hidup
menderita kalo lo nggak bisa relain dia pergi," ujar Kanaya.
Kinara tersenyum tipis.
Kata-kata yang sama, namun diucapkan oleh dua orang yang berbeda. Ah,
ralat. Belasan, bahkan puluhan orang sudah mengatakan hal tersebut
kepadanya. Namun, dukunganlah yang ia butuhkan. Ia butuh lebih dari
sekedar kata-kata.
Menyadari Kinara tetap
terdiam, Kanaya memutuskan untuk mengambil alih percakapan, "Lo pernah
denger nggak sih? Kalo misalnya seseorang meninggal, terus ada satu atau
beberapa orang yang nggak ngerelain dia pergi, orang itu bakal tetap
ada disini."
Kinara menatap Kanaya bingung, "Really?"
tanyanya tak yakin. Ia sudah lima belas tahun, terlalu besar untuk
dapat percaya begitu saja dengan kata-kata bernada menghibur dari
orang-orang di sekitarnya. Ia sudah terlalu besar untuk itu.
Kanaya mengangguk,
senyumnya mengembang ketika ia menyadari bahwa Kinara mendengarkan,
bahkan menyimak kata-katanya, "Ya. Orang itu tetap ada disini. Dia
bakal terus berputar-putar di antara dunia dan kehidupan selanjutnya.
"Dia terjebak di dua
dimensi yang berbeda. Cuma keikhlasan dan ketulusan yang bisa membawa
orang itu pergi ke kehidupan selanjutnya dengan tenang," tutur Kanaya
panjang lebar, berharap hal itu dapat menghapus tangis dari wajah
Kinara.
Dua langkah lagi menuju
mobil, Kanaya mendengar suara teriakan dari arah pemakaman. Ia berbalik,
mencari tahu apa yang sudah terjadi. Kejadian di sekolah waktu itu
membuat telinganya berkali-kali lipat lebih sensitif dari sebelumnya.
"Suara apa itu?" Kinara buka suara, kata-kata pertamanya sejak beberapa jam terakhir.
Di satu sisi Kanaya
begitu bahagia karena Kinara kembali berbicara. Namun, di sisi lainnya,
ia begitu penasaran suara apakah yang baru saja didengarnya. Setelah
berdebat dengan diri sendiri, ia memutuskan bahwa rasa penasarannya lah
yang menang.
Ia menengok pada Kinara, "Ayo!"
Kinara mengerutkan
keningnya bingung. Namun, sebelum Kinara sempat berkata-kata, Kanaya
terlanjur menarik tangannya, memaksa dirinya untuk ikut berlari
bersamanya. Sejenak Kanaya merasa deja vu.
Beberapa hari yang lalu,
ia juga merasakan perasaan yang sama. Ketika Rafael menariknya pergi
dari gudang, dan berlarian untuk melaporkan hal yang mereka lihat.
Barangkali Kinara juga merasakan apa yang pernah ia rasakan.
Dalam hati kecilnya,
Kanaya terus berdoa. Jangan sampai hal yang terjadi pada Disty terjadi
lagi pada orang lain. Ia benar-benar tak sanggup melihat dan menyaksikan
orang-orang di sekitarnya menderita. Cukup kematian Disty saja yang
membuat mereka bersedih.
Mereka berdua terus
berlari menuju sumber suara, dan menemukan Luna tengah berjalan
kesana-kemari dengan gusar. Tangan kanannya mencengkeram ponsel lebih
erat dari seharusnya. Dapat dipastikan bahwa ia sedang terkejut.
Ia nampak menekan-nekan
layar ponsel miliknya, menempelkannya, pada telinga, lantas
menurunkannya kembali. Sikap anehnya sukses membuat alarm tanda bahaya
di dalam kepala Kanaya berbunyi nyaring. Sesuatu telah terjadi, dan itu
buruk.
"Luna!" panggil Kanaya.
Murid baru itu mengalihkan perhatian ke arahnya. Ia terkejut dengan
kehadiran mereka berdua. Luna langsung saja berlari menghampiri Kanaya
dan Kinara.
"Apa apa, Luna? Tadi gue denger ada suara or-"
"CLARA DICULIK!" serunya, "Dia diculik!"
Comments
Post a Comment