Skip to main content

Psychopath [Chapter Six]

Berita mengenai hilangnya Disty sudah tersiar di seluruh penjuru kota. Pihak kepolisian terus menerus menelusuri kasus ini sepanjang hari. Namun, sama sekali tidak ada titik terang mengenai kasus penculikan ini.
Hari ini, genap sebelas hari berlalu sejak Disty hilang. Beberapa orang mulai menaruh curiga terhadap Luna. Pasalnya, Luna baru terdaftar sebagai murid di High School Academy pada hari yang sama dengan penculikan Disty.
"Oh, come on!" teriak Kanaya frustasi, "Mana mungkin Luna yang menculik Disty? Jelas - jelas waktu itu dia lagi bareng sama Kinara dan Angela!"
Rafael dan Zafran termenung di kursinya, "Well, kalau dia nyuruh orang buat ngelakuin itu? Memangnya lo pikir itu nggak mungkin?"
Kanaya memainkan jarinya di meja, "Coba lo jadi Luna, deh. Andai kata lo punya dendam ke Disty. Terus lo mau balas dendam dengan cara menculik dia. Memangnya lo bakal pilih hari pertama lo ketemu Disty buat balas dendam? Jelas nggak kan!
"Seorang pelaku kejahatan nggak mungkin beraksi di hari ketika semua orang bisa curiga sama dia? Lo berdua paham kan maksud gue?"  tanya Kanaya.
Zafran mengangguk, "Kurang lebih."
Kanaya dan Rafael memang baru saja menceritakan peristiwa tersebut kepada Zafran. Seperti biasa, lelaki itu tetap tenang seperti air. Namun, Zafran tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa otaknya tengah berpikir keras untuk memecahkan masalah ini.
"Terus menurut lo siapa?" tanya Rafael untuk ke sekian kalinya, "Dan lagi, memangnya dari mana lo tahu kalau penculikan ini bermotif dendam?"
"Barang-barang Disty," ujarnya kalem.
Rafael dan Zafran mengerutkan keningnya bingung, "Barang-barangnya?"
"Iya," angguknya, "Kemarin waktu polisi menggeledah TKP dan menemukan barang-barang Disty. Mereka lihat kalau sebagian besar barang-barang itu rusak. Itu artinya, orang yang menculik dia pasti sedang marah besar dan... kalap."
Sekali lagi Zafran mengangguk, "Hmmm... I see."
Rafael memutar matanya jengah. Ia merasa bodoh jika sudah berhadapan dengan kedua sahabatnya ini. Apalagi jika mereka berdua tengah membahas mengenai pelajaran yang tak begitu Rafael kuasai di kelas.
Memutuskan untuk mengabaikan kedua sahabatnya, Rafael merogoh sakunya dan mengambil ponsel miliknya. Ia mencoba mengaktifkannya, namun tidak berhasil. Ah, sepertinya baterainya habis.
Ia memasukkan kembali ponselnya, dan menyambar ponsel milik Kanaya tanpa permisi. Biarlah, toh mereka sudah bersahabat sejak lama. Menggeledah isi ponsel satu sama lain sudah menjadi hal yang biasa di antara mereka.
Dewi fortuna kali ini berpihak padanya. Ketika ia menyalakan benda berbentuk persegi panjang itu, layar lebarnya langsung menyala, menampilkan sederet notifikasi dari berbagai macam aplikasi. Rafael baru saja akan memasukkan kata sandi, namun sebuah notifikasi menarik perhatiannya.
1 new message from Pak Anto
Rafael mengerutkan keningnya. Bukannya...?
"Eh, Kanaya! Nama polisi yang menangani kasus Disty itu Pak Anto kan?" tanya Rafael.
Kanaya mengangguk, "Ya. Kenapa?"
"Dia... kirim pesan."
***
"Rumah sakit mana?" Zafran bertanya dengan gusar sembari memasang sabuk pengaman.
"Rumah sakit Delta Husada!" seru Kanaya yang berada di jok sebelah pengemudi.
Beberapa saat yang lalu, Pak Anto mengirim pesan bahwa Kanaya harus menghubunginya secepatnya. Kata beliau, ada perkembangan penting mengenai kasus Disty. Tanpa berpikir panjang, Kanaya langsung saja menghubunginya.
Dan saat itulah, ia mendengar berita tersebut. Bukan, bukan perkembangan baik yang dimaksud oleh Pak Anto. Memang Disty sudah ditemukan. Namun sayangnya, nyawanya sudah tidak terselamatkan!
Mayatnya ditemukan menggantung pada seutas tali tepat di kamarnya sendiri. Petugas kepolisian memang sudah memeriksa kamarnya beberapa hari yang lalu, dan mereka berani bersumpah bahwa mereka sama sekali tidak menemukan mayat Disty.
Pembantu rumah tangganya lah yang menemukan Disty. Wanita paruh baya yang biasa disapa "Mboh Dian" itu tengah membersihkan kamar Disty ketika ia menemukan mayat majikannya disana. Beliau segera mengabari kedua orang tua Disty dan polisi.
Kini, mayatnya tengah menjalani proses autopsi di rumah sakit Delta Husada. Dan kesanalah mereka bertiga akan pergi. Mereka memang bukan teman baiknya, namun sebagai orang yang menyaksikan kejadian tersebut, mereka merasa perlu untuk hadir.
Perjalanan ke rumah sakit tersebut memakan waktu yang cukup lama. Kondisi lalu lintas yang macet dan dikombinasikan dengan jarak tempuh yang jauh membuat mereka sampai disana dalam waktu dua setengah jam.
"Dimana dia?" tanya Rafael yang tengah berlarian di koridor. Beberapa perawat serta pengunjung yang ada disana menegur mereka, namun mereka tidak peduli.
"Pasti dia ada di ruang autopsi!" jawab Zafran.
Mereka menemui kedua orang tua Disty, Pak Anto serta Kinara tengah berdiri mematung di depan pintu ruang autopsi. Begitu Kanaya datang, saudara kembarnya langsung menghambur ke dalam pelukannya. Ia menangis sejadi-jadinya.
Kanaya menepuk pundak Kinara pelan, bermaksud menenangkannya. Rafael dan Zafran memandang ke dalam ruang autopsi, "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Pak Anto bersedekap, meletakkan kedua tangannya di depan dada, "Sepertinya dia bunuh diri. Kami menemukan dirinya tergantung pada seutas tali di kamarnya. Besar kemungkinannya ia membunuh dirinya sendiri."
"Lalu kejadian di sekolah waktu itu? Bukankah itu merupakan suatu bukti bahwa dia diculik?" tanya Rafael lagi.
"Saya belum tahu. Mungkin akan diadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai hal itu," gelengnya. Ditilik dari ekspresinya, sepertinya kejadian ini merupakan pukulan yang lumayan serius bagi karirnya.
"Kenapa... ini bisa terjadi... Disty..." isak Kinara. Kanaya memeluknya lebih erat. Ia menuntun Kinara untuk duduk di kursi rumah sakit.
"Dia orang baik-baik. Kenapa dia..." lanjutnya, masih berlinangan air mata.
"Kinara!" sebuah suara muncul di belakang mereka. Kanaya menengok, dan menemui Calya, Angela, Luna, dan Clara tengah berdiri dengan raut wajah tak jauh berbeda dari saudara kembarnya.
Mereka berempat langsung saja menghambur dan menangis bersama Kinara. Kanaya tahu diri, ia menyingkir dari sana dan kembali menemui Rafael dan Zafran. Memang ada setitik rasa geli menyaksikan mereka berlima berpelukan di tempat umum, namun rasa iba di hatinya jauh lebih mendominasi.
"What shall we do next?" tanya Kanaya pelan.
"Praying," ujar Rafael, "Nggak ada yang bisa kita lakukan lagi. Disty sudah nggak ada. Kasus ini mungkin akan ditutup dengan dugaan bunuh diri. Jelas banget kasus ini lebih memberatkan Disty."
"Gue tahu," Kanaya tersenyum pahit, "Tapi gue nggak yakin kalau itu bunuh diri."
"Sama," jawab Zafran.
Seorang perawat keluar diikuti pria berkalung stetoskop di belakangnya. Kedua orang tua Disty langsung saja menanyakan keadaan putrinya itu. Seperti dugaan mereka barusan, Disty memang meninggal karena bunuh diri.
Sebuah sidik jari yang ditemukan di lehernya sudah dicocokkan, dan hasilnya sama dengan sidik jarinya sendiri. Tidak ada orang lain yang membunuhnya. Dapat dipastikan bahwa ia membunuh dirinya sendiri. Entah karena apa.
"Kayaknya kita harus pergi," bisik Rafael.
"Yap," angguk Zafran, "Kita sudah nggak berguna lagi disini. Ayo keluar."

Comments

Promo Menarik Hari Ini

Popular posts from this blog

Resensi Novel Matahari

  Judul novel: Matahari Penulis: Tere Liye Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2016 Cover: Orkha Creative ISBN 978-602-03-3211-6 Tebal: 400 halaman Sinopsis: Novel ini menceritakan tentang perjalanan tiga orang remaja, yaitu Raib, Seli, dan Ali di Klan Bintang. Mereka berasal dari klan yang berbeda. Raib yang berasal dari Klan Bulan dapat menghilang. Seli yang berasal dari Klan Matahari mampu mengeluarkan petir dari tangannya. Sedangkan Ali yang berasal dari Klan Bumi adalah anak yang jenius dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu itulah, ia mencoba mencari tahu tentang Klan Bintang yang keberadaannya tidak diketahui seorangpun. Dari hasil pencariannya, ia hanya menemukan informasi bahwa salah satu cara untuk pergi kesana adalah dengan menggunakan buku kehidupan milik Raib. Ali pun mengajak Raib dan Seli untuk pergi ke Klan Bintang. Namun, ide itu ditolak mentah mentah oleh mereka karena Raib telah berjanji untuk tidak men...

Resensi Novel Autumn in Paris

  Rangkuman Buku Nonfiksi : Autumn in Paris AUTUMN IN PARIS oleh Ilana Tan GM 401 07.028 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29 - 37, Jakarta 10270 Desain dan ilustrasi cover oleh yustisea.satyalim@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Juli 2007 Cetakan kesembilan belas : Maret 2012 Cetakan keduapuluh : Mei 2012 Cetakan keduapuluh satu : November 2012 Cetakan keduapuluh dua : Februari 2013 Cetakan keduapuluh tiga : Agustus 2013 Cetakan keduapuluh empat : November 2013 272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 3030 - 7 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta ----------------------------------------------------------- Isi di luar tanggung jawab Percetakan Bab 1: Ruangan penyiar tersebut sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Namun, Tara Dupont masih duduk bersandar di kursi dengan ekspresi sebal. Tara me...

Psychopath [Chapter Seven]

Awan kelabu berarak satu sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan bela sungkawa darinya. Suasana yang muram menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum. Memang, pada awalnya kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak merasa 'sendirian'. "Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara. Kinara tetap menunduk, menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya untuk selama-...