Berita mengenai
hilangnya Disty sudah tersiar di seluruh penjuru kota. Pihak kepolisian
terus menerus menelusuri kasus ini sepanjang hari. Namun, sama sekali
tidak ada titik terang mengenai kasus penculikan ini.
Hari ini, genap sebelas
hari berlalu sejak Disty hilang. Beberapa orang mulai menaruh curiga
terhadap Luna. Pasalnya, Luna baru terdaftar sebagai murid di High
School Academy pada hari yang sama dengan penculikan Disty.
"Oh, come on!"
teriak Kanaya frustasi, "Mana mungkin Luna yang menculik Disty? Jelas -
jelas waktu itu dia lagi bareng sama Kinara dan Angela!"
Rafael dan Zafran termenung di kursinya, "Well, kalau dia nyuruh orang buat ngelakuin itu? Memangnya lo pikir itu nggak mungkin?"
Kanaya memainkan jarinya
di meja, "Coba lo jadi Luna, deh. Andai kata lo punya dendam ke Disty.
Terus lo mau balas dendam dengan cara menculik dia. Memangnya lo bakal
pilih hari pertama lo ketemu Disty buat balas dendam? Jelas nggak kan!
"Seorang pelaku
kejahatan nggak mungkin beraksi di hari ketika semua orang bisa curiga
sama dia? Lo berdua paham kan maksud gue?" tanya Kanaya.
Zafran mengangguk, "Kurang lebih."
Kanaya dan Rafael memang
baru saja menceritakan peristiwa tersebut kepada Zafran. Seperti biasa,
lelaki itu tetap tenang seperti air. Namun, Zafran tak bisa mengelak
dari kenyataan bahwa otaknya tengah berpikir keras untuk memecahkan
masalah ini.
"Terus menurut lo
siapa?" tanya Rafael untuk ke sekian kalinya, "Dan lagi, memangnya dari
mana lo tahu kalau penculikan ini bermotif dendam?"
"Barang-barang Disty," ujarnya kalem.
Rafael dan Zafran mengerutkan keningnya bingung, "Barang-barangnya?"
"Iya," angguknya,
"Kemarin waktu polisi menggeledah TKP dan menemukan barang-barang Disty.
Mereka lihat kalau sebagian besar barang-barang itu rusak. Itu artinya,
orang yang menculik dia pasti sedang marah besar dan... kalap."
Sekali lagi Zafran mengangguk, "Hmmm... I see."
Rafael memutar matanya
jengah. Ia merasa bodoh jika sudah berhadapan dengan kedua sahabatnya
ini. Apalagi jika mereka berdua tengah membahas mengenai pelajaran yang
tak begitu Rafael kuasai di kelas.
Memutuskan untuk
mengabaikan kedua sahabatnya, Rafael merogoh sakunya dan mengambil
ponsel miliknya. Ia mencoba mengaktifkannya, namun tidak berhasil. Ah,
sepertinya baterainya habis.
Ia memasukkan kembali
ponselnya, dan menyambar ponsel milik Kanaya tanpa permisi. Biarlah, toh
mereka sudah bersahabat sejak lama. Menggeledah isi ponsel satu sama
lain sudah menjadi hal yang biasa di antara mereka.
Dewi fortuna kali ini
berpihak padanya. Ketika ia menyalakan benda berbentuk persegi panjang
itu, layar lebarnya langsung menyala, menampilkan sederet notifikasi
dari berbagai macam aplikasi. Rafael baru saja akan memasukkan kata
sandi, namun sebuah notifikasi menarik perhatiannya.
1 new message from Pak Anto
Rafael mengerutkan keningnya. Bukannya...?
"Eh, Kanaya! Nama polisi yang menangani kasus Disty itu Pak Anto kan?" tanya Rafael.
Kanaya mengangguk, "Ya. Kenapa?"
"Dia... kirim pesan."
***
"Rumah sakit mana?" Zafran bertanya dengan gusar sembari memasang sabuk pengaman.
"Rumah sakit Delta Husada!" seru Kanaya yang berada di jok sebelah pengemudi.
Beberapa saat yang lalu,
Pak Anto mengirim pesan bahwa Kanaya harus menghubunginya secepatnya.
Kata beliau, ada perkembangan penting mengenai kasus Disty. Tanpa
berpikir panjang, Kanaya langsung saja menghubunginya.
Dan saat itulah, ia
mendengar berita tersebut. Bukan, bukan perkembangan baik yang dimaksud
oleh Pak Anto. Memang Disty sudah ditemukan. Namun sayangnya, nyawanya
sudah tidak terselamatkan!
Mayatnya ditemukan
menggantung pada seutas tali tepat di kamarnya sendiri. Petugas
kepolisian memang sudah memeriksa kamarnya beberapa hari yang lalu, dan
mereka berani bersumpah bahwa mereka sama sekali tidak menemukan mayat
Disty.
Pembantu rumah tangganya
lah yang menemukan Disty. Wanita paruh baya yang biasa disapa "Mboh
Dian" itu tengah membersihkan kamar Disty ketika ia menemukan mayat
majikannya disana. Beliau segera mengabari kedua orang tua Disty dan
polisi.
Kini, mayatnya tengah
menjalani proses autopsi di rumah sakit Delta Husada. Dan kesanalah
mereka bertiga akan pergi. Mereka memang bukan teman baiknya, namun
sebagai orang yang menyaksikan kejadian tersebut, mereka merasa perlu
untuk hadir.
Perjalanan ke rumah
sakit tersebut memakan waktu yang cukup lama. Kondisi lalu lintas yang
macet dan dikombinasikan dengan jarak tempuh yang jauh membuat mereka
sampai disana dalam waktu dua setengah jam.
"Dimana dia?" tanya
Rafael yang tengah berlarian di koridor. Beberapa perawat serta
pengunjung yang ada disana menegur mereka, namun mereka tidak peduli.
"Pasti dia ada di ruang autopsi!" jawab Zafran.
Mereka menemui kedua
orang tua Disty, Pak Anto serta Kinara tengah berdiri mematung di depan
pintu ruang autopsi. Begitu Kanaya datang, saudara kembarnya langsung
menghambur ke dalam pelukannya. Ia menangis sejadi-jadinya.
Kanaya menepuk pundak
Kinara pelan, bermaksud menenangkannya. Rafael dan Zafran memandang ke
dalam ruang autopsi, "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Pak Anto bersedekap,
meletakkan kedua tangannya di depan dada, "Sepertinya dia bunuh diri.
Kami menemukan dirinya tergantung pada seutas tali di kamarnya. Besar
kemungkinannya ia membunuh dirinya sendiri."
"Lalu kejadian di sekolah waktu itu? Bukankah itu merupakan suatu bukti bahwa dia diculik?" tanya Rafael lagi.
"Saya belum tahu.
Mungkin akan diadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai hal itu,"
gelengnya. Ditilik dari ekspresinya, sepertinya kejadian ini merupakan
pukulan yang lumayan serius bagi karirnya.
"Kenapa... ini bisa
terjadi... Disty..." isak Kinara. Kanaya memeluknya lebih erat. Ia
menuntun Kinara untuk duduk di kursi rumah sakit.
"Dia orang baik-baik. Kenapa dia..." lanjutnya, masih berlinangan air mata.
"Kinara!" sebuah suara
muncul di belakang mereka. Kanaya menengok, dan menemui Calya, Angela,
Luna, dan Clara tengah berdiri dengan raut wajah tak jauh berbeda dari
saudara kembarnya.
Mereka berempat langsung
saja menghambur dan menangis bersama Kinara. Kanaya tahu diri, ia
menyingkir dari sana dan kembali menemui Rafael dan Zafran. Memang ada
setitik rasa geli menyaksikan mereka berlima berpelukan di tempat umum,
namun rasa iba di hatinya jauh lebih mendominasi.
"What shall we do next?" tanya Kanaya pelan.
"Praying," ujar Rafael,
"Nggak ada yang bisa kita lakukan lagi. Disty sudah nggak ada. Kasus ini
mungkin akan ditutup dengan dugaan bunuh diri. Jelas banget kasus ini
lebih memberatkan Disty."
"Gue tahu," Kanaya tersenyum pahit, "Tapi gue nggak yakin kalau itu bunuh diri."
"Sama," jawab Zafran.
Seorang perawat keluar
diikuti pria berkalung stetoskop di belakangnya. Kedua orang tua Disty
langsung saja menanyakan keadaan putrinya itu. Seperti dugaan mereka
barusan, Disty memang meninggal karena bunuh diri.
Sebuah sidik jari yang
ditemukan di lehernya sudah dicocokkan, dan hasilnya sama dengan sidik
jarinya sendiri. Tidak ada orang lain yang membunuhnya. Dapat dipastikan
bahwa ia membunuh dirinya sendiri. Entah karena apa.
"Kayaknya kita harus pergi," bisik Rafael.
"Yap," angguk Zafran, "Kita sudah nggak berguna lagi disini. Ayo keluar."
Comments
Post a Comment