Skip to main content

Psychopath [Chapter Two]

"Rhea itu temen masa kecil gue sama Zafran, Naya. Kayak yang udah gue bilang waktu itu, sejak lahir gue sama Zafran tinggal di Kalgoorlie, Australia Barat. Daerah disana cukup terpencil, memang. Penduduknya nggak terlalu padat. Gue dibesarkan di sebuah rumah yang berada di daerah persawahan, bareng Zafran sama Rhea. 

"Rhea sebenernya sepupu gue. Umurnya selisih satu tahun sama gue dan Zafran. Dia baru tinggal bareng gue waktu kedua orang tuanya meninggal karena kebakaran. Cuma dia yang selamat dari kebakaran itu. Ayahnya, ibunya, dua kakaknya, semuanya meninggal terbakar. Jasad mereka bahkan hampir nggak ditemukan. Waktu itu umurnya baru lima tahun.

"Rhea datang dari keluarga yang kaya. Ayahnya - paman gue - pengusaha pertambangan yang terkenal. Tajir banget malah," tutur Rafael. 

"Wait, seingatku Kalgoorlie itu daerah pertambangan. Jadi, bokap kalian berdua juga bergerak di bidang yang sama? Pertambangan?" potong Kanaya. 

Rafael dan Zafran mengangguk, "Ya. Makanya sejak kecil kita tinggal disana. Dan sejak semua keluarganya meninggal, Rhea tinggal bareng gue. Dia memang nggak punya saudara lagi selain keluarga gue. Jadi ya, dia ikut gue ke Kalgoorlie.

"Sebelum itu kita sama sekali belum pernah ketemu Rhea. Waktu dia pertama kali muncul di ruang tamu gue bareng koper gedenya, gue sempet musuhin dia. But, people changes, right? Cuma butuh dua bulan buat kita bertiga jadi sahabat.

"Rhea ternyata pinter banget. Bisa dibilang jenius, malah. Dia tahu hal - hal yang seharusnya nggak dia tahu. Otaknya bener - bener encer. Dia jadi murid kesayangan guru - guru di kelasnya. Semua orang suka sama dia. 

"Kita bertiga bener - bener deket. Dan kita punya simbol khusus yang biasa kita pakai untuk main surat - suratan. Simbol itu juga yang muncul di mimpi gue semalem."

"Wait, wait! Mimpi apa?" selanya lagi. 

Zafran menatap Kanaya sengit, "Lo nggak bisa diem sebentar ya? Nggak usah motong dulu, nggak bisa ya?"

"Okay, sorry," Kanaya mengucapkannya dengan setengah hati. 

"Tapi, sejak kecil dia agak... sadis. Dia pernah kepergok bunuh kucing. Memang dia nggak ngaku, tapi semua orang sudah tahu kalau itu perbuatan Rhea. Semua keluarga gue jadi agak jaga jarak sama dia. 

"Dia juga punya semacam kekuatan buat mengaruhin orang. Semacam hipnotis lah, istilahnya. Gue bahkan pernah dipengaruhi dia buat ngerusak lukisan gue sendiri," Rafael tersenyum miring. 

"Hah? Maksud lo? Mengaruhin lo gimana?" tanya Kanaya, ekspresinya sudah persis seperti yang ditunjukkan Zafran beberapa saat yang lalu. 

"Ya, intinya dia mengaruhin. Dulu, ada tugas dari guru kita buat melukis alam. Waktunya satu bulan. Nah, selama sebulah itu gue sama Rafael semangat banget buat ngerjain tugasnya. Dan waktu sudah selesai, Rhea mempengaruhi Rafael," giliran Zafran yang menjelaskan. 

"Dia bilang, 'Aku pernah melihat lukisan yang sebagian besar warnanya didominasi hitam. Aku pikir itu akan bagus bila diterapkan pada lukisanmu,' begitu katanya. Rafael awalnya ragu, tapi Rhea terus meyakinkan dia buat ngelakuin hal itu."

"Dan Rafael ternyata bener - bener mengecat ulang lukisannya pakai warna hitam. Lukisan yang dibuat Rafael bener - bener hancur. Dia nggak nyalahin Rhea sama sekali, tapi," lanjut Zafran.

Kanaya mengetuk - ngetukkan jemarinya di meja, "Aneh. Kayaknya lo bener - bener got attached sama si Rhea ini."

"Bukan 'kayaknya', Nay. Memang bener si Rafael got attached sama Rhea. Rafael kan anak tunggal, jadi dia sudah anggap Rhea kayak adiknya sendiri. Kalau gue yang ngomong sih, menurut gue Rafael justru lebih cinta Rhea dibanding dirinya sendiri," Zafran berargumen. 

"Terus dia ngelakuin apa ke lo, Fran? Dari gaya bicara lo, kok kayaknya lo benci banget sama Rhea?" tanya Kanaya - kembali memunculkan sifat aslinya yang mudah terpancing rasa ingin tahunya yang besar. 

Raut wajah Zafran mengeras, "Karena kucing yang dibunuh Rhea itu kucing gue!" tukasnya, "Setelah tahu kalau Rhea yang membunuh kucing itu, gue bener - bener benci sama dia!"

"Well, pantes aja," Kanaya mengangguk - angguk paham, "Tapi lo nggak pernah dipengaruhi Rhea? Kayak yang Rafael bilang tadi?"

"Pernah. Dia pernah nyuruh gue buat ngelemparin minyak tanah ke perapian. Dia bilang, botol minyak tanah bakal berubah warna kalau gue lemparin kesana."

"Terus lo nurutin?" Kanaya mengerutkan dahinya. Ekspresinya  benar - benar mirip dengan seorang wartawan yang tengah mewawancarai narasumber. 

Rafael menggeleng, tergelak ringan, "Jelas nggak lah. Sejak kecil Zafran mana bisa dibodohi. Logikanya jauh lebih kuat," Rafael menepuk pundak Zafran. 

"Terus-"

Belum sempat Kanaya meneruskan perkataannya, suara nyaring yang berasal dari lonceng sekolah menginterupsi kegiatan mereka. Terpaksa, Kanaya bangkit dari kursi, dan berjalan meninggalkan Zafran dan Rafael menuju mejanya sendiri. 

"Nanti istirahat sambung lagi," ujar Kanaya, "Kantin sekolah. Meja biasanya. Waktu istirahat pertama. Jangan lupa mie ayam sama juice buah naga, masing - masing satu porsi."

Zafran dan Rafael hanya mengangguk pasrah, berharap Kanaya segera berlalu dari hadapan mereka. Ya, itulah Kanaya. Terlalu blak - blakan, cenderung tomboi, selalu kepo, cerewet, namun merupakan sahabat kesayangan mereka. 

***

"Zafran! Rafael! Yuhuuu... Gue disini!" Kanaya mengangkat tangannya tinggi - tinggi, meneriaki Rafael dan Zafran yang tengah mencarinya di tengah keriuhan kantin sekolah. Bukannya menoleh, kedua lelaki itu justru terlihat sedang berdebat. 

Merasa kesal karena tidak dihiraukan, Kanaya berdiri dari tempat duduknya, menggebrak meja kantin, seraya mengulangi teriakannya, "RAFAEL! ZAFRAN! GUE DISINI, WOIII!" 

Alhasil, bukan hanya Rafael dan Zafran yang mendengarnya. Hampir semua orang menengok ke arah Kanaya. Oke, tambahkan lagi satu sifat Kanaya: Tak mengenal kata malu. 

Rafael dan Zafran pun terpaksa berjalan menghampiri Kanaya sambil menyunggingkan senyum tanda meminta maaf kepada orang - orang di sekitarnya. Begitu perhatian mereka telah teralih, langsung saja kedua lelaki itu menatap Kanaya dengan sengit. 

"Urat malu lo udah putus ya?" tukas Zafran. 

"Enggak sih," Kanaya menyeruput jus jambunya santai, "Seenggaknya belum."

Rafael tertawa, menarik kursi di sebelah Kanaya, dan menghempaskan dirinya kesana, "Tadi meja biasa sudah ditempati sama orang lain. Jadinya gue ambil tempat duduk lain deh," cerocos Kanaya tanpa diminta. 

Sepertinya hari ini kelas mereka sedang ditimpa sial. Pelajaran olahraga yang menyenangkan mendadak harus ditukar dengan pelajaran geografi. Ya, normalnya geografi tidak terlalu membosankan. Namun, lain lagi jika yang mengajarkan adalah Pak Agus. Beliau dikenal sebagai guru yang tak segan - segan memotong waktu istirahat untuk sekedar remedial atau latihan soal. 

Tentu saja Zafran - yang notabene digadang - gadang sebagai siswa terpintar seangkatan - menyelesaikan latihan soalnya paling awal. Namun sialnya, ia diminta untuk mengambil hasil fotokopi latihan soal Pak Agus di koperasi. Jadilah ia terlambat datang ke kantin.
Soal Kanaya lain lagi. Dia memang tidak selalu menduduki peringkat tiga besar di kelas. Namun, ia benar - benar rajanya geografi, sejarah, dan pengetahuan umum. Maklum saja, ia sering kali berkeliling dunia. Apalagi ia didukung oleh rasa ingin tahunya yang besar. Tentu saja pengetahuan umum Kanaya jauh lebih luas dibanding kedua sahabatnya. 

"Dari mana aja lo berdua? Bukannya yang disuruh Pak Agus ke fotokopi cuma lo, Fran?" tanya Kanaya dengan mulut penuh mie ayam.
"Tau sendiri gue payah dalam geografi," Rafael mengangkat bahunya cuek, "Peta Indonesia aja gue masih sering lupa."

"Lo nggak pesenin kita makanan?" Zafran menyapukan pandangannya ke seluruh sudut meja.
Kanaya menggeleng, "Kagak," jawabnya tanpa rasa bersalah, "Udah cepetan lanjutin ceritanya!"

Zafran memelototkan matanya, "Gila lo! Jahat amat sih! El, pesen makan yuk!"

"Ogah ah, gue nggak nafsu makan. Habis ujian geografi kepala gue pusing," jawab Rafael.
"Nah, tuh kan! Udah lo pesen sana! Biar Rafael disini, nyeritain gue!" Kanaya mendorong punggung Zafran. 

Zafran pun terpaksa pergi untuk memesan mie ayam, diiringi tawa nyaring Kanaya, "Udah, lo lanjutin, gih!"

"Sampai mana tadi? Gue lupa!" tukas Rafael. 

Kanaya mengerutkan dahinya, "Iya juga ya? Ah! Gue inget, sampai kalian ngerasa dipengaruhi Rhea!"

"Ah iya! Nah, intinya sejak saat itu kita agak jaga jarak sama dia. Sebenernya gue kasihan. Tapi, banyak orang yang bilang kalau dia berbahaya. Jadi gue nurut. Walaupun ya, rasanya berat. Dia udah gue anggep adik gue sendiri," kenangnya. 

Kanaya mengangguk - angguk, "Terus, sekarang dimana dia?"

Dagu Rafael mengeras. Giginya saling bergemeletuk, "Dia udah nggak ada. Sejak dia dijauhi, dia jadi sering menyendiri. Dia lebih suka main di dekat sumur tua. Walaupun berbahaya, anehnya nggak seorangpun yang mencegah dia. Sampai akhirnya... Dia tenggelam di sumur itu.

"Gue, ngelihat pakai mata gue sendiri waktu dia meninggal. Gue inget banget seberapa sedih wajahnya. Itu bukan kecelakaan, dia sengaja bunuh diri. Dan bodohnya, gue sama sekali nggak mencegah perbuatannya.

"Secara nggak langsung, Rhea... Dia meninggal karena gue. Karena Zafran. Karena semua orang yang menganggap dia aneh," pungkasnya. 

"Sudah, nggak usah diterusin kalau itu bikin lo sakit," Kanaya menepuk punggung Rafael.

"Emang ceritanya udah selesai," Rafael mengangkat bahunya, menyeringai jahil, "Gue terlalu emosional, emang."

Kanaya memelototkan matanya, menghajar Rafael menggunakan tangan kirinya yang tidak memegang sumpit mie ayam, "Dasar! Gue udah serius, tiba - tiba lo buat ketawa!"

Comments

Promo Menarik Hari Ini

Popular posts from this blog

Resensi Novel Matahari

  Judul novel: Matahari Penulis: Tere Liye Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2016 Cover: Orkha Creative ISBN 978-602-03-3211-6 Tebal: 400 halaman Sinopsis: Novel ini menceritakan tentang perjalanan tiga orang remaja, yaitu Raib, Seli, dan Ali di Klan Bintang. Mereka berasal dari klan yang berbeda. Raib yang berasal dari Klan Bulan dapat menghilang. Seli yang berasal dari Klan Matahari mampu mengeluarkan petir dari tangannya. Sedangkan Ali yang berasal dari Klan Bumi adalah anak yang jenius dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu itulah, ia mencoba mencari tahu tentang Klan Bintang yang keberadaannya tidak diketahui seorangpun. Dari hasil pencariannya, ia hanya menemukan informasi bahwa salah satu cara untuk pergi kesana adalah dengan menggunakan buku kehidupan milik Raib. Ali pun mengajak Raib dan Seli untuk pergi ke Klan Bintang. Namun, ide itu ditolak mentah mentah oleh mereka karena Raib telah berjanji untuk tidak men...

Resensi Novel Autumn in Paris

  Rangkuman Buku Nonfiksi : Autumn in Paris AUTUMN IN PARIS oleh Ilana Tan GM 401 07.028 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29 - 37, Jakarta 10270 Desain dan ilustrasi cover oleh yustisea.satyalim@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Juli 2007 Cetakan kesembilan belas : Maret 2012 Cetakan keduapuluh : Mei 2012 Cetakan keduapuluh satu : November 2012 Cetakan keduapuluh dua : Februari 2013 Cetakan keduapuluh tiga : Agustus 2013 Cetakan keduapuluh empat : November 2013 272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 3030 - 7 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta ----------------------------------------------------------- Isi di luar tanggung jawab Percetakan Bab 1: Ruangan penyiar tersebut sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Namun, Tara Dupont masih duduk bersandar di kursi dengan ekspresi sebal. Tara me...

Psychopath [Chapter Seven]

Awan kelabu berarak satu sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan bela sungkawa darinya. Suasana yang muram menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum. Memang, pada awalnya kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak merasa 'sendirian'. "Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara. Kinara tetap menunduk, menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya untuk selama-...