"Rhea itu temen masa
kecil gue sama Zafran, Naya. Kayak yang udah gue bilang waktu itu, sejak
lahir gue sama Zafran tinggal di Kalgoorlie, Australia Barat. Daerah
disana cukup terpencil, memang. Penduduknya nggak terlalu padat. Gue
dibesarkan di sebuah rumah yang berada di daerah persawahan, bareng
Zafran sama Rhea.
"Rhea sebenernya sepupu
gue. Umurnya selisih satu tahun sama gue dan Zafran. Dia baru tinggal
bareng gue waktu kedua orang tuanya meninggal karena kebakaran. Cuma dia
yang selamat dari kebakaran itu. Ayahnya, ibunya, dua kakaknya,
semuanya meninggal terbakar. Jasad mereka bahkan hampir nggak ditemukan.
Waktu itu umurnya baru lima tahun.
"Rhea datang dari
keluarga yang kaya. Ayahnya - paman gue - pengusaha pertambangan yang
terkenal. Tajir banget malah," tutur Rafael.
"Wait, seingatku
Kalgoorlie itu daerah pertambangan. Jadi, bokap kalian berdua juga
bergerak di bidang yang sama? Pertambangan?" potong Kanaya.
Rafael dan Zafran
mengangguk, "Ya. Makanya sejak kecil kita tinggal disana. Dan sejak
semua keluarganya meninggal, Rhea tinggal bareng gue. Dia memang nggak
punya saudara lagi selain keluarga gue. Jadi ya, dia ikut gue ke
Kalgoorlie.
"Sebelum itu kita sama
sekali belum pernah ketemu Rhea. Waktu dia pertama kali muncul di ruang
tamu gue bareng koper gedenya, gue sempet musuhin dia. But, people changes, right? Cuma butuh dua bulan buat kita bertiga jadi sahabat.
"Rhea ternyata pinter
banget. Bisa dibilang jenius, malah. Dia tahu hal - hal yang seharusnya
nggak dia tahu. Otaknya bener - bener encer. Dia jadi murid kesayangan
guru - guru di kelasnya. Semua orang suka sama dia.
"Kita bertiga bener -
bener deket. Dan kita punya simbol khusus yang biasa kita pakai untuk
main surat - suratan. Simbol itu juga yang muncul di mimpi gue semalem."
"Wait, wait! Mimpi apa?" selanya lagi.
Zafran menatap Kanaya sengit, "Lo nggak bisa diem sebentar ya? Nggak usah motong dulu, nggak bisa ya?"
"Okay, sorry," Kanaya mengucapkannya dengan setengah hati.
"Tapi, sejak kecil dia
agak... sadis. Dia pernah kepergok bunuh kucing. Memang dia nggak ngaku,
tapi semua orang sudah tahu kalau itu perbuatan Rhea. Semua keluarga
gue jadi agak jaga jarak sama dia.
"Dia juga punya semacam
kekuatan buat mengaruhin orang. Semacam hipnotis lah, istilahnya. Gue
bahkan pernah dipengaruhi dia buat ngerusak lukisan gue sendiri," Rafael
tersenyum miring.
"Hah? Maksud lo?
Mengaruhin lo gimana?" tanya Kanaya, ekspresinya sudah persis seperti
yang ditunjukkan Zafran beberapa saat yang lalu.
"Ya, intinya dia
mengaruhin. Dulu, ada tugas dari guru kita buat melukis alam. Waktunya
satu bulan. Nah, selama sebulah itu gue sama Rafael semangat banget buat
ngerjain tugasnya. Dan waktu sudah selesai, Rhea mempengaruhi Rafael,"
giliran Zafran yang menjelaskan.
"Dia bilang, 'Aku pernah
melihat lukisan yang sebagian besar warnanya didominasi hitam. Aku
pikir itu akan bagus bila diterapkan pada lukisanmu,' begitu katanya.
Rafael awalnya ragu, tapi Rhea terus meyakinkan dia buat ngelakuin hal
itu."
"Dan Rafael ternyata
bener - bener mengecat ulang lukisannya pakai warna hitam. Lukisan yang
dibuat Rafael bener - bener hancur. Dia nggak nyalahin Rhea sama sekali,
tapi," lanjut Zafran.
Kanaya mengetuk - ngetukkan jemarinya di meja, "Aneh. Kayaknya lo bener - bener got attached sama si Rhea ini."
"Bukan 'kayaknya', Nay.
Memang bener si Rafael got attached sama Rhea. Rafael kan anak tunggal,
jadi dia sudah anggap Rhea kayak adiknya sendiri. Kalau gue yang ngomong
sih, menurut gue Rafael justru lebih cinta Rhea dibanding dirinya
sendiri," Zafran berargumen.
"Terus dia ngelakuin apa
ke lo, Fran? Dari gaya bicara lo, kok kayaknya lo benci banget sama
Rhea?" tanya Kanaya - kembali memunculkan sifat aslinya yang mudah
terpancing rasa ingin tahunya yang besar.
Raut wajah Zafran
mengeras, "Karena kucing yang dibunuh Rhea itu kucing gue!" tukasnya,
"Setelah tahu kalau Rhea yang membunuh kucing itu, gue bener - bener
benci sama dia!"
"Well, pantes aja," Kanaya mengangguk - angguk paham, "Tapi lo nggak pernah dipengaruhi Rhea? Kayak yang Rafael bilang tadi?"
"Pernah. Dia pernah
nyuruh gue buat ngelemparin minyak tanah ke perapian. Dia bilang, botol
minyak tanah bakal berubah warna kalau gue lemparin kesana."
"Terus lo nurutin?"
Kanaya mengerutkan dahinya. Ekspresinya benar - benar mirip dengan
seorang wartawan yang tengah mewawancarai narasumber.
Rafael menggeleng,
tergelak ringan, "Jelas nggak lah. Sejak kecil Zafran mana bisa
dibodohi. Logikanya jauh lebih kuat," Rafael menepuk pundak Zafran.
"Terus-"
Belum sempat Kanaya
meneruskan perkataannya, suara nyaring yang berasal dari lonceng sekolah
menginterupsi kegiatan mereka. Terpaksa, Kanaya bangkit dari kursi, dan
berjalan meninggalkan Zafran dan Rafael menuju mejanya sendiri.
"Nanti istirahat sambung
lagi," ujar Kanaya, "Kantin sekolah. Meja biasanya. Waktu istirahat
pertama. Jangan lupa mie ayam sama juice buah naga, masing - masing satu
porsi."
Zafran dan Rafael hanya
mengangguk pasrah, berharap Kanaya segera berlalu dari hadapan mereka.
Ya, itulah Kanaya. Terlalu blak - blakan, cenderung tomboi, selalu kepo,
cerewet, namun merupakan sahabat kesayangan mereka.
***
"Zafran! Rafael!
Yuhuuu... Gue disini!" Kanaya mengangkat tangannya tinggi - tinggi,
meneriaki Rafael dan Zafran yang tengah mencarinya di tengah keriuhan
kantin sekolah. Bukannya menoleh, kedua lelaki itu justru terlihat
sedang berdebat.
Merasa kesal karena
tidak dihiraukan, Kanaya berdiri dari tempat duduknya, menggebrak meja
kantin, seraya mengulangi teriakannya, "RAFAEL! ZAFRAN! GUE DISINI,
WOIII!"
Alhasil, bukan hanya
Rafael dan Zafran yang mendengarnya. Hampir semua orang menengok ke arah
Kanaya. Oke, tambahkan lagi satu sifat Kanaya: Tak mengenal kata malu.
Rafael dan Zafran pun
terpaksa berjalan menghampiri Kanaya sambil menyunggingkan senyum tanda
meminta maaf kepada orang - orang di sekitarnya. Begitu perhatian mereka
telah teralih, langsung saja kedua lelaki itu menatap Kanaya dengan
sengit.
"Urat malu lo udah putus ya?" tukas Zafran.
"Enggak sih," Kanaya menyeruput jus jambunya santai, "Seenggaknya belum."
Rafael tertawa, menarik
kursi di sebelah Kanaya, dan menghempaskan dirinya kesana, "Tadi meja
biasa sudah ditempati sama orang lain. Jadinya gue ambil tempat duduk
lain deh," cerocos Kanaya tanpa diminta.
Sepertinya hari ini
kelas mereka sedang ditimpa sial. Pelajaran olahraga yang menyenangkan
mendadak harus ditukar dengan pelajaran geografi. Ya, normalnya geografi
tidak terlalu membosankan. Namun, lain lagi jika yang mengajarkan
adalah Pak Agus. Beliau dikenal sebagai guru yang tak segan - segan
memotong waktu istirahat untuk sekedar remedial atau latihan soal.
Tentu saja Zafran - yang
notabene digadang - gadang sebagai siswa terpintar seangkatan -
menyelesaikan latihan soalnya paling awal. Namun sialnya, ia diminta
untuk mengambil hasil fotokopi latihan soal Pak Agus di koperasi.
Jadilah ia terlambat datang ke kantin.
Soal Kanaya lain lagi.
Dia memang tidak selalu menduduki peringkat tiga besar di kelas. Namun,
ia benar - benar rajanya geografi, sejarah, dan pengetahuan umum. Maklum
saja, ia sering kali berkeliling dunia. Apalagi ia didukung oleh rasa
ingin tahunya yang besar. Tentu saja pengetahuan umum Kanaya jauh lebih
luas dibanding kedua sahabatnya.
"Dari mana aja lo berdua? Bukannya yang disuruh Pak Agus ke fotokopi cuma lo, Fran?" tanya Kanaya dengan mulut penuh mie ayam.
"Tau sendiri gue payah dalam geografi," Rafael mengangkat bahunya cuek, "Peta Indonesia aja gue masih sering lupa."
"Lo nggak pesenin kita makanan?" Zafran menyapukan pandangannya ke seluruh sudut meja.
Kanaya menggeleng, "Kagak," jawabnya tanpa rasa bersalah, "Udah cepetan lanjutin ceritanya!"
Zafran memelototkan matanya, "Gila lo! Jahat amat sih! El, pesen makan yuk!"
"Ogah ah, gue nggak nafsu makan. Habis ujian geografi kepala gue pusing," jawab Rafael.
"Nah, tuh kan! Udah lo pesen sana! Biar Rafael disini, nyeritain gue!" Kanaya mendorong punggung Zafran.
Zafran pun terpaksa pergi untuk memesan mie ayam, diiringi tawa nyaring Kanaya, "Udah, lo lanjutin, gih!"
"Sampai mana tadi? Gue lupa!" tukas Rafael.
Kanaya mengerutkan dahinya, "Iya juga ya? Ah! Gue inget, sampai kalian ngerasa dipengaruhi Rhea!"
"Ah iya! Nah, intinya
sejak saat itu kita agak jaga jarak sama dia. Sebenernya gue kasihan.
Tapi, banyak orang yang bilang kalau dia berbahaya. Jadi gue nurut.
Walaupun ya, rasanya berat. Dia udah gue anggep adik gue sendiri,"
kenangnya.
Kanaya mengangguk - angguk, "Terus, sekarang dimana dia?"
Dagu Rafael mengeras.
Giginya saling bergemeletuk, "Dia udah nggak ada. Sejak dia dijauhi, dia
jadi sering menyendiri. Dia lebih suka main di dekat sumur tua.
Walaupun berbahaya, anehnya nggak seorangpun yang mencegah dia. Sampai
akhirnya... Dia tenggelam di sumur itu.
"Gue, ngelihat pakai
mata gue sendiri waktu dia meninggal. Gue inget banget seberapa sedih
wajahnya. Itu bukan kecelakaan, dia sengaja bunuh diri. Dan bodohnya,
gue sama sekali nggak mencegah perbuatannya.
"Secara nggak langsung,
Rhea... Dia meninggal karena gue. Karena Zafran. Karena semua orang yang
menganggap dia aneh," pungkasnya.
"Sudah, nggak usah diterusin kalau itu bikin lo sakit," Kanaya menepuk punggung Rafael.
"Emang ceritanya udah selesai," Rafael mengangkat bahunya, menyeringai jahil, "Gue terlalu emosional, emang."
Kanaya memelototkan
matanya, menghajar Rafael menggunakan tangan kirinya yang tidak memegang
sumpit mie ayam, "Dasar! Gue udah serius, tiba - tiba lo buat ketawa!"
Comments
Post a Comment