Skip to main content

Psychopath [Chapter Four]

Praaaang....!
Kanaya dan Zafran  langsung saja bangkit dari kursi, saling berpandangan satu sama lain,  mengisyaratkan bahaya. Keduanya mengangguk, dan segera berlari keluar  dari kelas mereka. Mereka tidak bodoh, dan mereka jelas mengetahui bahwa  suara tersebut adalah tanda bahaya.
Koridor begitu sepi. Tidak ada seorangpun yang melintas disana. Maklum saja, ini hari Senin. Tidak ada ekstra kulikuler apapun yang diadakan pada hari ini. Biasanya, kegiatan tersebut dilakukan pada hari Rabu.
Zafran dan Kanaya menyapukan pandangan ke sekeliling, menerka dari mana suara tersebut berasal, "Kayaknya dari situ, Nay!" Zafran menunjuk ke arah timur, jalur yang menuju ke arah ruang gudang sekolah.
Mereka mempercepat langkah kaki, berlari sekuat mungkin menuju gudang sekolah. Tepat dugaan, pintu gudang tersebut berada dalam keadaan setengah terbuka. Gembok besi yang biasa digunakan untuk mengunci ruangan tersebut juga telah dirusak.
Mereka berdua kembali berpandangan, berhitung dengan keadaan, "Kita masuk?" tanya Kanaya ragu. Dalam lima belas tahun kehidupannya, baru kali ini ia merasa setakut ini.
Zafran mengangguk yakin, "Masuk," jawabnya.
Perlahan lengannya menyentuh pintu tersebut, dan menariknya. Zafran melangkah terlebih dahulu, mendahului Kanaya. Tangan kanannya merogoh saku, mengeluarkan kunci mobilnya yang dilengkapi dengan senter. Di tengah kegelapan, ia mencoba untuk menyalakannya.
Ia menghembuskan napas lega begitu benda tersebut dapat menyala dengan sempurna. Segera saja ia memindai isi ruangan dengan matanya, meneliti dari mana bunyi tersebut berasal. Ditilik dari bunyinya, sepertinya suara tersebut berasal dari benda yang pecah.
"ZAFRAN!" Kanaya menjerit, membuyarkan konsentrasi Zafran, "Zafran! Zafran! Lihat kesana!" Kanaya menggoyang - goyangkan tangan Zafran, mencoba untuk menunjukkan hal aneh yang barus saja tertangkap oleh bola matanya.
Bukannya merespon Kanaya, pikiran Zafran justru sedang memutar ulang rangkaian kejadian yang pernah dialaminya. Seorang gadis kecil pernah menggoyang - goyangkan tangannya, dan ia ingat benar siapa gadis itu.
Otaknya terlalu cerdas untuk melupakan peristiwa tersebut. Ah, ralat. Bukan satu peristiwa saja, namun setiap kali merajuk, gadis itu selalu saja menggoyang - goyangkan lengannya dengan tak sabaran. Zafran ingat benar ekspresi wajahnya, serta gerutuannya yang mirip dengan dengung lebah. Semua ingatannya tersebut kembali bermuara pada satu nama. Rhea.
Sentakan dari Kanaya cukup ampuh untuk membuatnya kembali menjejak bumi setelah melayang - layang dalam dunia ilusinya. Zafran mengerjapkan mata, dan memusatkan perhatiannya pada Kanaya.
Zafran hendak bertanya apa yang terjadi, namun sorot ketakutan yang terbaca dari bola mata Kanaya segera menyadarkannya. Ia mengedarkan pandangannya, mengikuti arah telunjuk Kanaya. Dan seketika itu juga, ia mematung.
Jendela besar yang menghadap ke halaman belakang benar - benar berada dalam kondisi yang mengenaskan. Bukan hanya retak, namun kepingan - kepingan kaca tersebut sudah jatuh berserakan di lantai.
Zafran menghela napas panjang, mencoba untuk tenang. Sebuah bola kasti menggelinding di dekat kakinya, membuatnya merasa lega. Ia menunduk, memungut bola itu, dan menunjukkannya pada Kanaya.
"See? Nggak ada apa - apa, kan? Mungkin ada anak yang nggak sengaja ngelempar bola ini dan bikin kaca pecah," ujar Zafran.
Kanaya mengerutkan alisnya tak percaya, "Tapi ini aneh! Kalau cuma bola kasti, nggak mungkin kaca ini bisa rusak parah! Dan lagi, memangnya lo lihat ada anak - anak main kasti di sekitar sini?"
Zafran melipat kedua tangannya di depan dada, bersiap menjawab rentetan pertanyaan yang diucapkan oleh Kanaya, "Menurut gue memungkinkan, kok," Zafran melangkah mendekati jendela, dan memungut sebuah potongan kaca.
"Lo lihat ini," Zafran menunjukkan kaca di tangannya, "Kacanya tipis. Sedikit goncangan aja sudah bisa buat kaca ini pecah."
"Tapi siapa yang main kasti? Nggak ada siapa - siapa di sekitar sini?" Kanaya berjalan menuju jendela lain, mengamati keadaan sekitar, "Lo kan tahu sendiri kalau daerah sini sepi. Jarang banget ada murid yang kesini."
Zafran mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja bekas di dekatnya, "Coba lo ada di posisi orang itu. Lo nggak sengaja mukul bola, dan kena kaca sampai pecah. Kira - kira lo harus ngapain kalau nggak kabur?"
Kanaya menghela napas lelah, "Terus gimana lo bisa ngejelasin soal pintu gudang yang kebuka? Jelas - jelas ruangan ini selalu dikunci, bahkan digembok dari luar. "
Kanaya kembali berjalan, kali ini menuju sudut lain gudang tersebut, "Dan soal bola kastinya. Kemungkinan besar itu berasal dari sini."
Ia menggeser sebuah meja kecil, dan menarik keluar sebuah kardus yang penuh dengan peralatan olahraga bekas, "Bola yang lo pegang tadi... Bukannya itu juga sama? Bola bekas?"
Zafran tercekat. Ia memandangi bola yang tadi ia letakkan di meja dalam diam. Suatu alarm tanda bahaya dalam dirinya kembali berbunyi. Apapun yang terjadi, pastilah merupakan hal yang salah. Semua penjelasan Kanaya masuk akal.
Ini bukan kecelakaan kecil. Jelas ini sesuatu yang besar, dan... buruk. Siapapun yang merencanakannya, pasti ia memiliki niat jahat. Dada Zafran berdegup kencang begitu ia memikirkan kemungkinan terburuknya.
Zafran kembali mengamati jendela yang hanya menyisakan bingkainya. Ia terpaku di tempatnya, membiarkan matanya menjelajah setiap sudut jendela tersebut, hingga terhenti pada suatu hal yang tak normal.
Zafran meneguk ludahnya sendiri, "Naya!" serunya.
Kanaya tak menjawab, hanya menatap Zafran lurus, "Kayaknya lo bener!" ujar Zafran.
Tanpa berpikir panjang, Zafran langsung saja menyambar tangan Kanaya, memaksa gadis itu untuk berlari bersamanya. Bahkan, ia sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Kanaya untuk memprotes.
"Kita mau kemana? Kenapa sih, lo?" Kanaya mencoba untuk bertanya, namun sepertinya tidak ada tanda - tanda bahwa Zafran ingin menjawab, "Berhenti!" serunya.
Berhasil, langkah Zafran tiba -tiba terhenti. Ia menatap Kanaya tajam. Sebelum ia menyuarakan pikirannya, gadis itu sudah terlebih dahulu menyela, "Kenapa sih lo? Kenapa tiba-tiba lo kaget kayak gini?"
"Sesuatu yang buruk sudah terjadi! Kita nggak bisa cuma diem aja!" teriaknya, "Ini bener - bener buruk, Kanaya! Ini bener-bener gawat!"
"Jadi..." perkataan Kanaya menggantung di udara, "Apa yang lo simpulkan dari kejadian ini?" Kanaya mati-matian berusaha agar nada suaranya tidak terdengar khawatir.
Zafran membasahi bibirnya sebelum berbicara, "Penculikan, atau bahkan yang lebih parah... pembunuhan."
Kanaya membulatkan matanya, "Apa!" teriaknya, "Darimana lo tahu?"
"Gue... ngelihat ada bekas darah di bingkai jendela. Darah itu masih segar, dan besar kemungkinannya kalau darah itu baru ada disana. Kaca yang pecah, pintu gudang yang terbuka. Damn! Semuanya jadi jelas, sekarang!" tukas Zafran.
Kanaya menutup mulutnya tak percaya, "Lo bener! Cepet kita lapor ke satpam!"
Mereka berdua kembali berlarian di koridor sekolah dengan pikiran yang rumit. Penculikan, pembunuhan. Dua kata itu terus terngiang-ngiang di kepala Kanaya. Siapa yang tega melakukan hal ini?

Comments

Promo Menarik Hari Ini

Popular posts from this blog

Resensi Novel Matahari

  Judul novel: Matahari Penulis: Tere Liye Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2016 Cover: Orkha Creative ISBN 978-602-03-3211-6 Tebal: 400 halaman Sinopsis: Novel ini menceritakan tentang perjalanan tiga orang remaja, yaitu Raib, Seli, dan Ali di Klan Bintang. Mereka berasal dari klan yang berbeda. Raib yang berasal dari Klan Bulan dapat menghilang. Seli yang berasal dari Klan Matahari mampu mengeluarkan petir dari tangannya. Sedangkan Ali yang berasal dari Klan Bumi adalah anak yang jenius dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu itulah, ia mencoba mencari tahu tentang Klan Bintang yang keberadaannya tidak diketahui seorangpun. Dari hasil pencariannya, ia hanya menemukan informasi bahwa salah satu cara untuk pergi kesana adalah dengan menggunakan buku kehidupan milik Raib. Ali pun mengajak Raib dan Seli untuk pergi ke Klan Bintang. Namun, ide itu ditolak mentah mentah oleh mereka karena Raib telah berjanji untuk tidak men...

Resensi Novel Autumn in Paris

  Rangkuman Buku Nonfiksi : Autumn in Paris AUTUMN IN PARIS oleh Ilana Tan GM 401 07.028 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29 - 37, Jakarta 10270 Desain dan ilustrasi cover oleh yustisea.satyalim@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Juli 2007 Cetakan kesembilan belas : Maret 2012 Cetakan keduapuluh : Mei 2012 Cetakan keduapuluh satu : November 2012 Cetakan keduapuluh dua : Februari 2013 Cetakan keduapuluh tiga : Agustus 2013 Cetakan keduapuluh empat : November 2013 272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 3030 - 7 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta ----------------------------------------------------------- Isi di luar tanggung jawab Percetakan Bab 1: Ruangan penyiar tersebut sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Namun, Tara Dupont masih duduk bersandar di kursi dengan ekspresi sebal. Tara me...

Psychopath [Chapter Seven]

Awan kelabu berarak satu sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan bela sungkawa darinya. Suasana yang muram menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum. Memang, pada awalnya kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak merasa 'sendirian'. "Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara. Kinara tetap menunduk, menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya untuk selama-...