Praaaang....!
Kanaya dan Zafran
langsung saja bangkit dari kursi, saling berpandangan satu sama lain,
mengisyaratkan bahaya. Keduanya mengangguk, dan segera berlari keluar
dari kelas mereka. Mereka tidak bodoh, dan mereka jelas mengetahui
bahwa suara tersebut adalah tanda bahaya.
Koridor begitu sepi.
Tidak ada seorangpun yang melintas disana. Maklum saja, ini hari Senin.
Tidak ada ekstra kulikuler apapun yang diadakan pada hari ini. Biasanya,
kegiatan tersebut dilakukan pada hari Rabu.
Zafran dan Kanaya
menyapukan pandangan ke sekeliling, menerka dari mana suara tersebut
berasal, "Kayaknya dari situ, Nay!" Zafran menunjuk ke arah timur, jalur
yang menuju ke arah ruang gudang sekolah.
Mereka mempercepat
langkah kaki, berlari sekuat mungkin menuju gudang sekolah. Tepat
dugaan, pintu gudang tersebut berada dalam keadaan setengah terbuka.
Gembok besi yang biasa digunakan untuk mengunci ruangan tersebut juga
telah dirusak.
Mereka berdua kembali
berpandangan, berhitung dengan keadaan, "Kita masuk?" tanya Kanaya ragu.
Dalam lima belas tahun kehidupannya, baru kali ini ia merasa setakut
ini.
Zafran mengangguk yakin, "Masuk," jawabnya.
Perlahan lengannya
menyentuh pintu tersebut, dan menariknya. Zafran melangkah terlebih
dahulu, mendahului Kanaya. Tangan kanannya merogoh saku, mengeluarkan
kunci mobilnya yang dilengkapi dengan senter. Di tengah kegelapan, ia
mencoba untuk menyalakannya.
Ia menghembuskan napas
lega begitu benda tersebut dapat menyala dengan sempurna. Segera saja ia
memindai isi ruangan dengan matanya, meneliti dari mana bunyi tersebut
berasal. Ditilik dari bunyinya, sepertinya suara tersebut berasal dari
benda yang pecah.
"ZAFRAN!" Kanaya
menjerit, membuyarkan konsentrasi Zafran, "Zafran! Zafran! Lihat
kesana!" Kanaya menggoyang - goyangkan tangan Zafran, mencoba untuk
menunjukkan hal aneh yang barus saja tertangkap oleh bola matanya.
Bukannya merespon
Kanaya, pikiran Zafran justru sedang memutar ulang rangkaian kejadian
yang pernah dialaminya. Seorang gadis kecil pernah menggoyang -
goyangkan tangannya, dan ia ingat benar siapa gadis itu.
Otaknya terlalu cerdas
untuk melupakan peristiwa tersebut. Ah, ralat. Bukan satu peristiwa
saja, namun setiap kali merajuk, gadis itu selalu saja menggoyang -
goyangkan lengannya dengan tak sabaran. Zafran ingat benar ekspresi
wajahnya, serta gerutuannya yang mirip dengan dengung lebah. Semua
ingatannya tersebut kembali bermuara pada satu nama. Rhea.
Sentakan dari Kanaya
cukup ampuh untuk membuatnya kembali menjejak bumi setelah melayang -
layang dalam dunia ilusinya. Zafran mengerjapkan mata, dan memusatkan
perhatiannya pada Kanaya.
Zafran hendak bertanya
apa yang terjadi, namun sorot ketakutan yang terbaca dari bola mata
Kanaya segera menyadarkannya. Ia mengedarkan pandangannya, mengikuti
arah telunjuk Kanaya. Dan seketika itu juga, ia mematung.
Jendela besar yang
menghadap ke halaman belakang benar - benar berada dalam kondisi yang
mengenaskan. Bukan hanya retak, namun kepingan - kepingan kaca tersebut
sudah jatuh berserakan di lantai.
Zafran menghela napas
panjang, mencoba untuk tenang. Sebuah bola kasti menggelinding di dekat
kakinya, membuatnya merasa lega. Ia menunduk, memungut bola itu, dan
menunjukkannya pada Kanaya.
"See? Nggak ada apa - apa, kan? Mungkin ada anak yang nggak sengaja ngelempar bola ini dan bikin kaca pecah," ujar Zafran.
Kanaya mengerutkan
alisnya tak percaya, "Tapi ini aneh! Kalau cuma bola kasti, nggak
mungkin kaca ini bisa rusak parah! Dan lagi, memangnya lo lihat ada anak
- anak main kasti di sekitar sini?"
Zafran melipat kedua
tangannya di depan dada, bersiap menjawab rentetan pertanyaan yang
diucapkan oleh Kanaya, "Menurut gue memungkinkan, kok," Zafran melangkah
mendekati jendela, dan memungut sebuah potongan kaca.
"Lo lihat ini," Zafran menunjukkan kaca di tangannya, "Kacanya tipis. Sedikit goncangan aja sudah bisa buat kaca ini pecah."
"Tapi siapa yang main
kasti? Nggak ada siapa - siapa di sekitar sini?" Kanaya berjalan menuju
jendela lain, mengamati keadaan sekitar, "Lo kan tahu sendiri kalau
daerah sini sepi. Jarang banget ada murid yang kesini."
Zafran
mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja bekas di dekatnya, "Coba lo ada di
posisi orang itu. Lo nggak sengaja mukul bola, dan kena kaca sampai
pecah. Kira - kira lo harus ngapain kalau nggak kabur?"
Kanaya menghela napas
lelah, "Terus gimana lo bisa ngejelasin soal pintu gudang yang kebuka?
Jelas - jelas ruangan ini selalu dikunci, bahkan digembok dari luar. "
Kanaya kembali berjalan,
kali ini menuju sudut lain gudang tersebut, "Dan soal bola kastinya.
Kemungkinan besar itu berasal dari sini."
Ia menggeser sebuah meja
kecil, dan menarik keluar sebuah kardus yang penuh dengan peralatan
olahraga bekas, "Bola yang lo pegang tadi... Bukannya itu juga sama?
Bola bekas?"
Zafran tercekat. Ia
memandangi bola yang tadi ia letakkan di meja dalam diam. Suatu alarm
tanda bahaya dalam dirinya kembali berbunyi. Apapun yang terjadi,
pastilah merupakan hal yang salah. Semua penjelasan Kanaya masuk akal.
Ini bukan kecelakaan
kecil. Jelas ini sesuatu yang besar, dan... buruk. Siapapun yang
merencanakannya, pasti ia memiliki niat jahat. Dada Zafran berdegup
kencang begitu ia memikirkan kemungkinan terburuknya.
Zafran kembali mengamati
jendela yang hanya menyisakan bingkainya. Ia terpaku di tempatnya,
membiarkan matanya menjelajah setiap sudut jendela tersebut, hingga
terhenti pada suatu hal yang tak normal.
Zafran meneguk ludahnya sendiri, "Naya!" serunya.
Kanaya tak menjawab, hanya menatap Zafran lurus, "Kayaknya lo bener!" ujar Zafran.
Tanpa berpikir panjang,
Zafran langsung saja menyambar tangan Kanaya, memaksa gadis itu untuk
berlari bersamanya. Bahkan, ia sama sekali tidak memberi kesempatan bagi
Kanaya untuk memprotes.
"Kita mau kemana? Kenapa
sih, lo?" Kanaya mencoba untuk bertanya, namun sepertinya tidak ada
tanda - tanda bahwa Zafran ingin menjawab, "Berhenti!" serunya.
Berhasil, langkah Zafran
tiba -tiba terhenti. Ia menatap Kanaya tajam. Sebelum ia menyuarakan
pikirannya, gadis itu sudah terlebih dahulu menyela, "Kenapa sih lo?
Kenapa tiba-tiba lo kaget kayak gini?"
"Sesuatu yang buruk
sudah terjadi! Kita nggak bisa cuma diem aja!" teriaknya, "Ini bener -
bener buruk, Kanaya! Ini bener-bener gawat!"
"Jadi..." perkataan
Kanaya menggantung di udara, "Apa yang lo simpulkan dari kejadian ini?"
Kanaya mati-matian berusaha agar nada suaranya tidak terdengar khawatir.
Zafran membasahi bibirnya sebelum berbicara, "Penculikan, atau bahkan yang lebih parah... pembunuhan."
Kanaya membulatkan matanya, "Apa!" teriaknya, "Darimana lo tahu?"
"Gue... ngelihat ada
bekas darah di bingkai jendela. Darah itu masih segar, dan besar
kemungkinannya kalau darah itu baru ada disana. Kaca yang pecah, pintu
gudang yang terbuka. Damn! Semuanya jadi jelas, sekarang!" tukas Zafran.
Kanaya menutup mulutnya tak percaya, "Lo bener! Cepet kita lapor ke satpam!"
Mereka berdua kembali
berlarian di koridor sekolah dengan pikiran yang rumit. Penculikan,
pembunuhan. Dua kata itu terus terngiang-ngiang di kepala Kanaya. Siapa
yang tega melakukan hal ini?
Comments
Post a Comment