Rafael terbangun.
Setetes air jatuh ke pipi kanannya. Ia menengadah, mencari tahu dari
mana air itu berasal. Sedetik kemudian senyumnya mengembang begitu
menyadari bahwa cairan yang membasahi pipinya itu berasal dari embun
dedaunan.
Ia menyapukan
pandangannya ke sekeliling. Hamparan rumput yang hijau seakan
menyilaukan mata. Hanya padang rumput yang terlihat sejauh mata
memandang. Dan Rafael langsung saja mengenalinya sebagai kampung
halamannya.
Matanya terus menyapu
pemandangan di hadapannya, hingga terfokus kepada sesosok gadis yang
tengah berdiri di antara rerumputan. Rupanya tak terlalu jelas, namun
Rafael tetap mengenalinya.
"Rhea!" seru Rafael. Ia bangkit, menepuk - nepuk celananya yang kotor, dan segera berlari menyusulnya.
Sosok Rhea yang
mematung justru berlari menjauhi Rafael. Tak mau menyerah, Rafael terus
mengejarnya. Entah mengapa ia sama sekali tak merasa lelah. Seakan
tubuhnya seringan kapas. Namun usahanya sia - sia, karena kakinya
tersandung batu. Ia bangkit, terus mempersempit jarak antara dirinya dan
Rhea.
"Rhea! Tunggu aku!" teriaknya.
Permintaannya
terkabul. Sosok Rhea berhenti berlari, lantar membalikkan badannya ke
arah Rafael. Merasa mendapat kesempatan, Rafael mempercepat langkahnya
menghampiri Rhea yang sedang menatapnya balik.
Rhea kembali
menghadap tembok kayu, membelakangi Rafael. Tangan kirinya yang
menggenggam kapur tulis tengah menuliskan sesuatu di dinding. Ya, sejak
dulu Rhea memang terbiasa melakukan apapun dengan menggunakan tangan
kiri.
Begitu selesai, gadis
kecil itu menyingkir dari hadapan tembok, memberi Rafael ruang untuk
melihat hasil tulisannya. Rhea menepuk - nepuk pundak Rafael sembari
melayangkan senyum manis, sebelum ia pergi menjauh.
Rafael menatap
guratan - guratan yang dibuat oleh Rhea. Rasanya ia begitu familiar
dengan simbol - simbol tersebut. Senyumnya mengembang begitu ia
menyadari bahwa itu adalah simbol mereka. Simbol yang sudah lama
dilupakannya.
Butuh waktu lumayan
lama baginya untuk mencerna arti sepuluh tanda tersebut. Dan ketika ia
berhasil menemukan pemecahannya, Rafael termangu. Beban berat yang
menghimpit dadanya seakan bertambah bobotnya.
Dan ia pun terbangun.
***
Rafael terbangun, lagi.
Napasnya terengah - engah, tidak beraturan. Kali ini dia menyadari bahwa
ia sudah berada di alam nyata. Segera, ia menyambar ponsel yang ada di
nakasnya, dan melihat empat digit angka yang ada di sudut kanan atas.
04.23
Terlalu pagi untuk
bangun, huh? Ia sebenarnya ingin sekali melanjutkan tidurnya. Namun,
Rafael adalah tipe orang yang tidak dapat tertidur kembali jika sudah
terlanjur bangun. Maka, ia membulatkan tekadnya untuk pergi ke kamar
mandi dan membasuh mukanya.
Aneh sekali. Baru kali
ini Rafael memimpikan potongan kejadian masa lalunya. Ia jelas mengenal
siapa sosok gadis tersebut. Sosok yang telah lama menghilang dari
hidupnya. Ah, mendadak timbul rasa nyeri di hati Rafael.
"Calm down, Rafael. Just calm down," Rafael bermonolog sembari menatap bayangannya pada cermin besar. Seorang lelaki dengan mata panda tengah menatapnya balik.
"Ah!" erangnya, sembari membasuh wajahnya berkali kali, berharap lingkaran hitam di sekeliling matanya bisa hilang.
"Mendingan gue mandi aja, ah!"
***
"Morning, El," sebuah
suara yang mirip dengan suara sangkakala merasuki telinga Rafael. Sang
pemilik nama hanya menggumam kecil, mengacuhkan penyapanya. Bahkan tanpa
menengok pun, Rafael dapat memastikan siapa pemilik suara tersebut.
Ia adalah Zafran,
sahabat karibnya. Ah, mungkin ia bisa menganggap Zafran sebagai
saudaranya karena mereka bahkan sudah bersahabat sejak mereka belum bisa
mengeja kata 'sahabat' itu sendiri.
"Ck, sewot amat lo," serunya, "Lagian ya, tumben pagi - pagi gini lo udah dateng. Kesambet apaan lo?"
"Angin cinta," tukasnya asal.
Menyerah, Zafran memutuskan untuk melenggang duduk di kursi sebelah Rafael sembari menarik napas panjang. Mungkin Rafael sedang badmood, pikirnya. Maka Zafran pun mengeluarkan buku cetak biologi, dan mulai membacanya.
"Dia kembali, Fran," suara serak Rafael memecah keheningan.
Buku cetak di tangan Zafran bahkan terjatuh demi mendengar penuturan Rafael, "Hah? Apa... Dia? Maksudnya?"
"Rhea."
Satu nama itu cukup
sudah untuk mengguncang dunia Zafran. Sosok yang selalu berusaha
ditenggelamkannya dalam folder memori, kini disebut kembali oleh Rafael.
"Bukannya... bukannya dia sudah..." bahkan untuk mengucapkan kata 'meninggal' saja, lidah Zafran masih terasa kelu.
"Iya, memang. Tapi dalam mimpi gue dia seakan ngasih tanda kalau dia kembali," Rafael masih keukeuh pada pendiriannya.
"Kenapa lo yakin? Mimpi cuma bunga tidur kan?" timpal Zafran.
Rafael tidak menjawab,
ia hanya mengambil secara paksa buku cetak milik Zafran. Disambarnya
bulpoin dari saku kiri seragamnya, dan digoreskannya benda tersebut ke
halaman belakang buku cetak.
"A-K-U K -E-M-B-A-L-I,"
eja Zafran. Sama seperti reaksi Rafael, ia termangu di tempatnya. Ia
menggeleng - gelengkan kepalanya, menepis semua kemungkinan yang ada.
"Mimpi cuma bunga tidur,
kenapa lo harus percaya?" gelaknya, "Lagi pula, manusia cuma bisa
mengingat 5 persen dari mimpinya kan? Mungkin adegan itu ada
lanjutannya."
"Mungkin," Rafael mengangkat bahu, "Tapi seenggaknya cuma itu yang bisa gue tangkep," lanjutnya.
"Terus-" belum sempat Zafran menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara tinggi terlanjur memotong.
"RAFAEL! ZAFRAN!"
serunya, "Gue udah selesai baca novelnya!" gadis itu meletakkan - lebih
tepatnya melemparkan - sebuah novel di meja yang tepat berada di hadapan
mereka.
Rafael mengelus dadaku, "Dari dulu gue curiga lo sebenernya cewek jadi - jadian."
Ia membelalakkan matanya tak terima, "Enak aja! Gue kan princess."
Perkenalkan, dia Kanaya.
Sama seperti Zafran, ia juga merupakan sahabat Rafael. Well, ternyata
namanya tidak cocok dengan kelakuannya. Kanaya memang cenderung bersikap
blak - blakan, dan seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Ah iya, ia
memiliki saudara kembar yang bernama Kinara.
Karena ia sudah berada
disini, lengkap sudah semua anggota "The Paranoid". Berbeda dengan
Zafran yang mengenal Rafael sejak kecil, Kanaya justru baru beberapa
bulan dekat dengan mereka. Bahkan, sering kali Rafael dan Zafran salah
mengenalinya sebagai Kinara.
"Yang bener aja," gelak Zafran, "Mana ada princess yang punya tenaga kayak kuli?"
"Ada dong. Kayak gue nih," ujarnya, "Eh wait. Tadi kalian ngomongin apa?"
Zafran dan Rafael saling
bertatapan, memberi isyarat untuk menceritakan masa lalu mereka kepada
Kanaya. Bagaimanapun juga, Kanaya sahabat mereka. Tidak ada rahasia
antar sahabat, bukan?
"Oke, gue coba ceritain."
Comments
Post a Comment