Skip to main content

Psychopath [Chapter One]

Rafael terbangun. Setetes air jatuh ke pipi kanannya. Ia menengadah, mencari tahu dari mana air itu berasal. Sedetik kemudian senyumnya mengembang begitu menyadari bahwa cairan yang membasahi pipinya itu berasal dari embun dedaunan.
 
Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling. Hamparan rumput yang hijau seakan menyilaukan mata. Hanya padang rumput yang terlihat sejauh mata memandang. Dan Rafael langsung saja mengenalinya sebagai kampung halamannya. 
Matanya terus menyapu pemandangan di hadapannya, hingga terfokus kepada sesosok gadis yang tengah berdiri di antara rerumputan. Rupanya tak terlalu jelas, namun Rafael tetap mengenalinya. 
"Rhea!" seru Rafael. Ia bangkit, menepuk - nepuk celananya yang kotor, dan segera berlari menyusulnya. 
Sosok Rhea yang mematung justru berlari menjauhi Rafael. Tak mau menyerah, Rafael terus mengejarnya. Entah mengapa ia sama sekali tak merasa lelah. Seakan tubuhnya seringan kapas. Namun usahanya sia - sia, karena kakinya tersandung batu. Ia bangkit, terus mempersempit jarak antara dirinya dan Rhea.

"Rhea! Tunggu aku!" teriaknya. 

Permintaannya terkabul. Sosok Rhea berhenti berlari, lantar membalikkan badannya ke arah Rafael. Merasa mendapat kesempatan, Rafael mempercepat langkahnya menghampiri Rhea yang sedang menatapnya balik. 

Rhea kembali menghadap tembok kayu, membelakangi Rafael. Tangan kirinya yang menggenggam kapur tulis tengah menuliskan sesuatu di dinding. Ya, sejak dulu Rhea memang terbiasa melakukan apapun dengan menggunakan tangan kiri. 

Begitu selesai, gadis kecil itu menyingkir dari hadapan tembok, memberi Rafael ruang untuk melihat hasil tulisannya. Rhea menepuk - nepuk pundak Rafael sembari melayangkan senyum manis, sebelum ia pergi menjauh. 

Rafael menatap guratan - guratan yang dibuat oleh Rhea. Rasanya ia begitu familiar dengan simbol - simbol tersebut. Senyumnya mengembang begitu ia menyadari bahwa itu adalah simbol mereka. Simbol yang sudah lama dilupakannya. 

Butuh waktu lumayan lama baginya untuk mencerna arti sepuluh tanda tersebut. Dan ketika ia berhasil menemukan pemecahannya, Rafael termangu. Beban berat yang menghimpit dadanya seakan bertambah bobotnya. 

Dan ia pun terbangun.

***

Rafael terbangun, lagi. Napasnya terengah - engah, tidak beraturan. Kali ini dia menyadari bahwa ia sudah berada di alam nyata. Segera, ia menyambar ponsel yang ada di nakasnya, dan melihat empat digit angka yang ada di sudut kanan atas.

04.23

Terlalu pagi untuk bangun, huh? Ia sebenarnya ingin sekali melanjutkan tidurnya. Namun, Rafael adalah tipe orang yang tidak dapat tertidur kembali jika sudah terlanjur bangun. Maka, ia membulatkan tekadnya untuk pergi ke kamar mandi dan membasuh mukanya. 

Aneh sekali. Baru kali ini Rafael memimpikan potongan kejadian masa lalunya. Ia jelas mengenal siapa sosok gadis tersebut. Sosok yang telah lama menghilang dari hidupnya. Ah, mendadak timbul rasa nyeri di hati Rafael. 

"Calm down, Rafael. Just calm down," Rafael bermonolog sembari menatap bayangannya pada cermin besar. Seorang lelaki dengan mata panda tengah menatapnya balik. 

"Ah!" erangnya, sembari membasuh wajahnya berkali kali, berharap lingkaran hitam di sekeliling matanya bisa hilang. 

"Mendingan gue mandi aja, ah!"

***

"Morning, El," sebuah suara yang mirip dengan suara sangkakala merasuki telinga Rafael. Sang pemilik nama hanya menggumam kecil, mengacuhkan penyapanya. Bahkan tanpa menengok pun, Rafael dapat memastikan siapa pemilik suara tersebut. 

Ia adalah Zafran, sahabat karibnya. Ah, mungkin ia bisa menganggap Zafran sebagai saudaranya karena mereka bahkan sudah bersahabat sejak mereka belum bisa mengeja kata 'sahabat' itu sendiri. 

"Ck, sewot amat lo," serunya, "Lagian ya, tumben pagi - pagi gini lo udah dateng. Kesambet apaan lo?"

"Angin cinta," tukasnya asal.

Menyerah, Zafran memutuskan untuk melenggang duduk di kursi sebelah Rafael sembari menarik napas panjang. Mungkin Rafael sedang badmood, pikirnya. Maka Zafran pun mengeluarkan buku cetak biologi, dan mulai membacanya. 

"Dia kembali, Fran," suara serak Rafael memecah keheningan.
Buku cetak di tangan Zafran bahkan terjatuh demi mendengar penuturan Rafael, "Hah? Apa... Dia? Maksudnya?"

"Rhea."

Satu nama itu cukup sudah untuk mengguncang dunia Zafran. Sosok yang selalu berusaha ditenggelamkannya dalam folder memori, kini disebut kembali oleh Rafael. 

"Bukannya... bukannya dia sudah..." bahkan untuk mengucapkan kata 'meninggal' saja, lidah Zafran masih terasa kelu. 

"Iya, memang. Tapi dalam mimpi gue dia seakan ngasih tanda kalau dia kembali," Rafael masih keukeuh pada pendiriannya. 

"Kenapa lo yakin? Mimpi cuma bunga tidur kan?" timpal Zafran.

Rafael tidak menjawab, ia hanya mengambil secara paksa buku cetak milik Zafran. Disambarnya bulpoin dari saku kiri seragamnya, dan digoreskannya benda tersebut ke halaman belakang buku cetak. 

"A-K-U  K -E-M-B-A-L-I," eja Zafran. Sama seperti reaksi Rafael, ia termangu di tempatnya. Ia menggeleng - gelengkan kepalanya, menepis semua kemungkinan yang ada. 

"Mimpi cuma bunga tidur, kenapa lo harus percaya?" gelaknya, "Lagi pula, manusia cuma bisa mengingat 5 persen dari mimpinya kan? Mungkin adegan itu ada lanjutannya."

"Mungkin," Rafael mengangkat bahu, "Tapi seenggaknya cuma itu yang bisa gue tangkep," lanjutnya. 

"Terus-" belum sempat Zafran menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara tinggi terlanjur memotong.

"RAFAEL! ZAFRAN!" serunya, "Gue udah selesai baca novelnya!" gadis itu meletakkan - lebih tepatnya melemparkan - sebuah novel di meja yang tepat berada di hadapan mereka.

Rafael mengelus dadaku, "Dari dulu gue curiga lo sebenernya cewek jadi - jadian."

Ia membelalakkan matanya tak terima, "Enak aja! Gue kan princess."

Perkenalkan, dia Kanaya. Sama seperti Zafran, ia juga merupakan sahabat Rafael. Well, ternyata namanya tidak cocok dengan kelakuannya. Kanaya memang cenderung bersikap blak - blakan, dan seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Ah iya, ia memiliki saudara kembar yang bernama Kinara. 

Karena ia sudah berada disini, lengkap sudah semua anggota "The Paranoid". Berbeda dengan Zafran yang mengenal Rafael sejak kecil, Kanaya justru baru beberapa bulan dekat dengan mereka. Bahkan, sering kali Rafael dan Zafran salah mengenalinya sebagai Kinara. 

"Yang bener aja," gelak Zafran, "Mana ada princess yang punya tenaga kayak kuli?"

"Ada dong. Kayak gue nih," ujarnya, "Eh wait. Tadi kalian ngomongin apa?"

Zafran dan Rafael saling bertatapan, memberi isyarat untuk menceritakan masa lalu mereka kepada Kanaya. Bagaimanapun juga, Kanaya sahabat mereka. Tidak ada rahasia antar sahabat, bukan?
"Oke, gue coba ceritain."

Comments

Promo Menarik Hari Ini

Popular posts from this blog

Resensi Novel Matahari

  Judul novel: Matahari Penulis: Tere Liye Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2016 Cover: Orkha Creative ISBN 978-602-03-3211-6 Tebal: 400 halaman Sinopsis: Novel ini menceritakan tentang perjalanan tiga orang remaja, yaitu Raib, Seli, dan Ali di Klan Bintang. Mereka berasal dari klan yang berbeda. Raib yang berasal dari Klan Bulan dapat menghilang. Seli yang berasal dari Klan Matahari mampu mengeluarkan petir dari tangannya. Sedangkan Ali yang berasal dari Klan Bumi adalah anak yang jenius dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu itulah, ia mencoba mencari tahu tentang Klan Bintang yang keberadaannya tidak diketahui seorangpun. Dari hasil pencariannya, ia hanya menemukan informasi bahwa salah satu cara untuk pergi kesana adalah dengan menggunakan buku kehidupan milik Raib. Ali pun mengajak Raib dan Seli untuk pergi ke Klan Bintang. Namun, ide itu ditolak mentah mentah oleh mereka karena Raib telah berjanji untuk tidak men...

Resensi Novel Autumn in Paris

  Rangkuman Buku Nonfiksi : Autumn in Paris AUTUMN IN PARIS oleh Ilana Tan GM 401 07.028 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29 - 37, Jakarta 10270 Desain dan ilustrasi cover oleh yustisea.satyalim@gmail.com Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Juli 2007 Cetakan kesembilan belas : Maret 2012 Cetakan keduapuluh : Mei 2012 Cetakan keduapuluh satu : November 2012 Cetakan keduapuluh dua : Februari 2013 Cetakan keduapuluh tiga : Agustus 2013 Cetakan keduapuluh empat : November 2013 272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 3030 - 7 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta ----------------------------------------------------------- Isi di luar tanggung jawab Percetakan Bab 1: Ruangan penyiar tersebut sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Namun, Tara Dupont masih duduk bersandar di kursi dengan ekspresi sebal. Tara me...

Psychopath [Chapter Seven]

Awan kelabu berarak satu sama lain. Gulita menggantung di atas langit, seakan enggan untuk beranjak dari sana. Tidak terlihat lagi siluet senja di sore hari nan menawan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, seakan menyampaikan bela sungkawa darinya. Suasana yang muram menyelimuti proses pemakaman Disty. Setelah menjalani proses autopsi dan segala macam, ia dimakamkan pada hari itu juga. Sesuai kesepakatan keluarga, ia dimakamkan di taman pemakaman umum. Memang, pada awalnya kedua orang tuanya berniat menguburkannya di makam keluarga. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Disty disana agar ia tidak merasa 'sendirian'. "Gue turut berduka cita ya, Nara," Rafael berbisik pada Kinara. Kinara tetap menunduk, menyembunyikan paras cantiknya yang kini dibanjiri air mata. Baru kali ini ia merasakan kehilangan seorang sahabat untuk selama-lamanya. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa Disty akan meninggalkannya untuk selama-...